Sejak kemunculan berbagai moda transportasi online sejak 2015, di satu sisi Uber, Grab dan Go-Jek cenderung dielu-elukan karena telah membuka banyak lapangan pekerjaan dan dinilai relatif murah, cepat dan aman. Di lain sisi, perubahan sosial akibat teknologi ini menimbulkan berbagai kontroversi.
Wartapilihan.com, Jakarta — Salah satu kontroversi yang kini mulai bermunculan ialah kesejahteraan driver yang rentan. Hal ini karena driver transportasi online yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, 250.000 driver Go-Jek sudah bekerja melintasi jalanan.
Driver transportasi online dengan perusahaan penyedia aplikasi (Go-Jek, Uber, Grab) diikat dengan status hubungan mitra bukan hubungan kerja, namun masih terdapat cacat hukum tentang aturan antara perusahaan dengan driver. Hal ini disampaikan Tahegga Primanda Alfath sebagai kepala Progam Studi Hukum Universitas Narotama Surabaya, dalam diskusi online Forum Indonesia Muda (FIM) Club Kebijakan Publik, pada Senin, (17/10/2017).
“Hal ini sebenarnya sangat tampak diawal pengikatan atau perjanjian antara si driver dengan penyedia aplikasi. Calon driver akan diminta melakukan kesepakatan akan perjanjian baku yang dibuat oleh penyedia aplikasi. Jika telah si calon bersepakat dengan perjanjian tersebut barulah pengikatan dilakukan dengan penyedia aplikasi,” papar Tahegga.
Perjanjian ini, menurut Tahegga harus dicermati dengan baik, karena menurutnya dalam perjanjian ini ada cacat hukum, sekaligus berpotensi melemahkan perlindungan hukum terhadap driver. “Contoh kecil adalah adanya klausula ‘mengesampingkan ketentuan pasal 1266 KUHP Perdata.'” lanjutnya.
Status hukum hubungan driver dengan penyedia aplikasi, menurut Tahegga bukan merupakan hubungan kerja karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Aturan tersebut juga tercantum pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 276 K/Pdt.Sus/2013 “Landasan ini juga semakin menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan hubungan kerja tersebut,” lanjut dia.
Unsur-unsur hubungan kerja terkait dengan (1) Pekerjaan. Unsur ini terpenuhi jika pekerja hanya melaksanakan pekerjaan yang sudah diberikan perusahaan. (2) Upah, yakni unsur ini terpenuhi jika pekerja menerima kompensasi berupa uang tertentu yang besar jumlahnya tetap dalam periode tertentu. Bukan berdasarkan komisi/persentase. (3) Perintah, unsur ini terpenuhi jika pemberi perintah kerja adalah perusahaan. Bukan atas inisiatif pekerja.
“Sehingga hemat saya, driver transportasi online tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UU Ketenagakerjaan dikarenakan tidak memiliki hubungan kerja dengan penyedia aplikasi,” pungkas Tahegga.
Tahegga menyarankan, Mahkamah Agung yang berperan memberi pembatasan terhadap transportasi online mesti diatur dengan mencontoh negara lain.
“Pandangan saya, transportasi online harus tetap diatur, pengaturannya dapat mencontoh negara-negara lain yang telah sukses mengatur, sehingga gesekan antara transportasi online dan konvensional tidak terjadi,” tukasnya.
Hal ini didukung pula oleh penelitian dari Aulia Dwi Nastiti, mahasiswa magister Ilmu Politik di Universitas Northwestern. Ia menjelaskan, konflik tidak hanya terjadi antara para pengemudi Go-Jek, tetapi juga konflik vertikal antara pengemudi dengan perusahaan.
“Relasi vertikal ini saya pikir sangat kurang diperhatikan dan dikaji dalam wacana mainstream. Padahal, sejak tahun 2015, sopir Gojek telah melakukan berbagai aksi protes pada manajemen Gojek setidaknya di 15 kota (data hingga April 2017),” papar Aulia.
Ia mengatakan, jika memang benar Gojek menguntungkan pengemudinya—dengan memberikan penghasilan lebih tinggi dan kerja yang fleksibel—ekspektasi kita tentu akan ada transisi dan migrasi yang smooth dari tukang ojek pangkalan menjadi sopir Gojek.
“Tetapi kenapa, tidak hanya bentrok dengan tukang ojek pangkalan, sering juga terjadi protes dan perlawanan kepada perusahaan sendiri? Apa yang menjadi akar dari resistensi para sopir Gojek?” Ungkapnya.
Ia menemukan, protes dan demonstrasi para sopir Gojek dapat dipahami sebagai reaksi terhadap praktik dan aturan kerja di Gojek yang, tidak hanya ambigu, tetapi juga dianggap tidak adil oleh para pengemudi Gojek sendiri
Hal ini semacam buah simalakama. Sejak launching, Gojek selalu mengusung brand sebagai “revolusi karya anak bangsa.” Pengemudi disebut sebagai “mitra” atau “wirausahawan mikro” yang dapat menentukan berapa banyak uang yang ingin mereka hasilkan, kapan pun mereka mau.
Selain jargon yang tak sesuai dengan faktanya, terjadi relasi yang timpang dilihat dari bagaimana perusahaan mengatur tarif secara sepihak tanpa melibatkan suara pengemudi. “Meskipun ada perjanjian kemitraan, jika dilihat lagi, pengemudi berada dalam posisi yang sangat dirugikan dalam perjanjian tersebut,” lanjut Aulia.
Selain itu, pengemudi juga tidak bisa menolak—karena setiap perubahan aturan bersifat final, dan biasanya disampaikan lewat aplikasi. “Sopir tidak bisa log-in dan menggunakan aplikasi kalau mereka tidak menyatakan “setuju” ketika perubahan aturan terjadi. Artinya, consent atau kesepakatan pun sifatnya dipaksakan,” pungkasnya.
Dalam hal perlindungan kerja, Aulia menyayangkan, Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini belum mengatur hak dan perlindungan buruh dalam relasi kerja semi informal gaya baru, seperti yang ada di industri transportasi online.
“Pola-pola sistem yang terjadi secara global menyoroti pentingnya kehadiran regulasi yang tanggap dengan cara-cara kerja baru di era digital. Sudah saatnya kita mulai mendorong perdebatan agar lebih fokus pada hak-hak pengemudi sebagai pekerja,” tandas Aulia.
Eveline Ramadhini