Buni Yani, Jonru, dan Alfian Tanjung, Maaf Kami Cuma Bisa Menulis

by
Foto: istimewa

Tulisan –pengalaman pribadi-  ini saya buat, karena sesak melihat negeri ini. Negeri yang dicita-citakan founding fathers menjadi negeri yang demokratis adil dan makmur, kini menjadi negeri yang dilanda ketakutan. Ketakutan mengeluarkan pendapat, ketakutan bicara dan ketakutan menulis, karena ancaman Undang-Undang ITE pasal ujaran kebencian.

Wartapilihan.com, Jakarta — Ada tiga kasus yang saya tulis. Kebetulan saya kenal, meski tidak terlalu akrab. Yaitu Buni Yani, Jonru dan Alfian Tanjung.

Buni Yani
Buni, lelaki kelahiran Lombok 16 Mei 1969 ini gayanya kalem dan hidupnya sederhana. Ia tidak menyangka sama sekali akan menjadi tersangka karena tulisannya tiga kalimat di Facebook. Bila ia ditahan, ia hanya khawatir bila tidak bisa membangunkan anaknya shalat subuh. “Saya sebelum upload ulang itu video, saya menonton berkali-kali. Sampai tujuh kali,”terangnya kepada saya. Ia mengambil video itu dari media NKRI dan mengupload video itu dengan memberi komentar di atasnya : “PENISTAAN TERHADAP AGAMA? “Bapak ibu (pemilih muslim)… dibohongi surat Al Maidah 51… (dan) masuk neraka (juga bapak ibu) dibodohi”. Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”

Sekitar tiga bulan lalu, saya mencoba menyambangi rumah Buni Yani di Depok, setelah lama nggak ketemu. Di rumahnya yang sederhana itu, kita berbincang cukup lama tentang berbagai hal. Yang saya kaget, ketika ia cerita bahwa studi doktornya di Leiden University Belanda, dihentikan oleh ‘profesor pembimbingnya’. Alasannya seperti tak masuk akal, karena terlibat dalam masaah politik di Jakarta (Ahok).

Buni pun pasrah. Tapi ia menyatakan kepada saya, suatu saat akan melanjutkan kembali studi doktoralnya bila kasus hukum yang menjeratnya ini selesai. “Kini saya siap mas, apapun yang terjadi,” kata Buni dengan penuh optimis.

Setelah berbincang-bincang ke sana kemari, Buni Yani mengajak saya ke acara peresmian 212 Mart di Tangerang Selatan. Meluncurlah kami bertiga –didampingi satu kawan Buni Yani- ke acara. Kaget saya. Di situ, Buni Yani, bagaikan artis. Ia dinyatakan pembicara di panggung, sebagai ‘ikon 212 Mart’. Buni pun hanya tersenyum kecil. Usai acara, Buni pun diserbu para pengunjung untuk bersama. Banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengajak foto bersama. “Begini mas, kalau Buni ikut dalam acara-acara peresmian 212 Mart atau Kita Mart,” kata kawan Buni. Saya pun tersenyum gembira. Dibalik musibah, Allah ciptakan hikmah.

Dari acara itu, saya diajak meluncur ke Rumah Makan Bersama 212 di Tebet. “Nanti kita makan bersama mas, di rumah makan yang dibangun bersama alumni 212,” terangnya meyakinkan. Saya pun mengiyakannya. Sampailah di tempat rumah makan. Yang tidak saya sangka, rumah makan padang itu cukup besar, tiga lantai. Buni mengaku terus terang, bahwa rumah makan ini ‘belum untung’. Tapi menunjukkan peningkatan pemasukan setiap harinya.

Kini, tentu Buni Yani dag dig dug menunggu putusan hakim di Pengadilan Negeri Bandung. Tanggal 3 Oktober lalu, Ketua tim jaksa penuntut umum Andi M.Taufik mengatakan Buni Yani dengan sengaja memposting potongan video pidato Ahok yang telah diedit sebelumnya. Ia mengatakan, unggahan Buni tersebut mengundang kegaduhan di tengah masyarakat. “Perbuatan terdakwa dapat memunculkan perpecahan antar umat beragama,” katanya.

Jaksa menyatakan Buni Yani bersalah karena melanggar Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal itu berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.” Yang aneh, kata Buni, jaksa dari awal sampai sidang tuntutan itu, tidak bisa membuktikan edit video yang dilakukan olehnya.

Tanggal 17 Oktober nanti, Buni akan membacakan pembelaanya (pledoi). Buni bersyukur, terhadap kasus yang menjeratnya di Pengadilan Negeri Bandung ini, karena banyak yang mendukungnya. Ahli-ahli hukum yang tergabung dalam Bang Japar, selalu mendampingi tiap sidang di Bandung hari Selasa. Di samping itu, ratusan pemuda dari Aliansi Pergerakan Islam Bandung pimpinan Ustadz Asep Syarifudin senantiasa mengiringinya tiap sidang.

Apa sebenarnya yang mendorong Buni mengupload video Ahok di Pulau Seribu itu? Begitu pertanyaan saya kepadanya. “Saya ini seorang Muslim, yang pertama dulu. Saya sebelum upload ulang itu video, saya menonton berkali-kali. Sampai tujuh kali. Malam-malam kan saya pulang kerja dari kantor di bulan Oktober (2016). Setelah saya lihat kok ada yang nggak beres dalam video itu mas. Dari media NKRI. Dalam pemeriksaan di BAP kepolisian sudah saya jelaskan semua. Jadi saya melihat ada yang nggak beres dalam potongan video 30 detik itu. Kebetulan dulu saya juga wartawan. Itu tergerak karena itu. Yang kedua, dia kan mengucapkan itu di depan publik sebagai gubernur. Dalam pandangan saya yang punya ilmu sedikit tentang demokrasi, jurnalisme, intinya kan seorang pejabat publik itu nggak boleh seperti itu. Pakai baju dinas ngomong program-program tiba-tiba bicara Al Maidah 51. Siapapun yang belajar ilmu admistrasi publik, jurnalisme, maka tidak pantas seorang pejabat publik berbicara soal program  tiba-tiba berbicara surat Al Maidah 51. Dimana alasannya, ini kan nggak masuk akal. Ini sangat tidak pantas,” jelasnya kepada saya.

Ya, Buni dengan naluri jurnalistiknya merasa bahwa Ahok sebagai gubernur Jakarta yang penduduknya mayoritas Muslim, tidak pantas mengucapkan kata-kata yang menista Al Quran. Buni tidak menyangka tulisannya itu akan menimbulkan dampak yang besar –karena Guntur Romli yang menviralkannya- hingga Ahok dikenai hukuman dan dirinya menjadi tersangka.

Mestinya, bila Ahok telah dihukum, Buni Yani harusnya bebas. Ibaratnya, orang yang melapor ada orang yang korupsi dan kemudian terbukti, ‘masak’ pelapornya divonis? Gimana logika hukumnya? Begitu pertanyaan yang menggelayuti saya.

Jonru
Jon Riah Ukur atau Jonru Ginting, saya tidak begitu kenal. Meski sekitar tahun 2006 saya pernah bersamanya memberikan training penulis di Masjid as Shofwa, Jakarta. Saat itu saya memberikan materi penulisan di dunia media cetak, sedang Jonru memberikan training penulisan di dunia internet. Saya di sesi pertama, Jonru di sesi kedua, sehingga tidak sempat ngobrol.

Bila melihat tulisan Jonru, kita menilainya memang banyak yang provokatif. Dan itu menurut saya wajar saja, karena di dunia internet/facebook, agar tulisan kita banyak pembacanya, butuh kata-kata yang provokatif. Tuntutan ‘menulis beda’ itu kadang-kadang menjerumuskan orang tanpa mengklarifikasi data yang ada.

Jonru bisa jadi salah data, atau salah kutip, tapi haruskah dipenjara karena ini? Dimana letak kebebasan berpendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar? Kalau polisi adil, mestinya tangkap ribuan orang yang bersliweran menulis provokatif atau fitnah di twitter, facebook dan lain-lain.

Begitu pertanyaan-pertanyaan saya tentang kasus Jonru ini.

Kita sekarang masuk dalam dunia liberal medsos. Bila sudah memasuki era ini, maka sebenarnya tak pantas polisi campur tangan. Dalam dunia medsos caci maki, saling sindir, kritik keras adalah biasa. Lebih baik pemerintah melarang sekalian medsos, daripada membiarkan medsos hidup, kemudian melakukan tebang pilih hukum.

Jonru adalah sosok pribadi yang sederhana. Yang bergelut dalam bidang dakwah, dalam dunia penulisan di internet. Untuk menunjang hidupnya, ia berdagang buku-buku Islam via internet.

Alfian Tanjung
Ia adalah ustadz yang aktif dalam dunia dakwah. Kader PPP ini giat melaksanakan ceramah-ceramah Islam tiap harinya. Selain itu, laki-laki pemberani ini juga Dosen Universitas Muhammadiyah Hamka (Uhamka). Pemahamannya tentang dunia komunis, ia makin perdalam ketika menjadi  Ketua Departemen Kajian Strategis DPP Gerakan Bela Negara 2015-2020. Ia terakhir, juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Pusat.

Saya menjenguknya bersama teman-teman Dewan Dakwah Islamiyah Depok ketika ia mendekam di penjara Polda Metro Jaya beberapa bulan lalu. Saat kita jenguk, ia didampingi dua anaknya. Tak tercermin kesedihan di wajahnya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan selama ini adalah benar dan untuk kepentingan dakwah Islam.

Kini ia diperkarakan di Polda Metro Jaya kembali oleh kader PDIP –setelah dibebaskan dari Pengadilan Negeri Surabaya- karena tulisannnya di twitter bahwa 85% kader PDIP adalah PKI.

Alfian mungkin saja keliru persentase. Tapi haruskah ia dihukum karena ini? Mengapa petinggi PDIP tidak mengklarifikasi pernyataan Alfian ini? Apakah 0%, 50%, 80% atau 86%? Itu pertanyaan saya.

Kasus ini aneh. Harusnya hal seperti ini diklarifikasi oleh PDIP selesai. Tapi di masa internet sekarang ini, kok malah dipenjara, orang yang menulis atau ngomong hanya karena salah data.

Khatimah
Di zaman SBY, kita tidak menemukan kasus-kasus seperti ini. Kasus orang dipenjarakan karena omongan dan tulisan, harusnya berhenti pada Ahok. Bila saat itu, Ahok bukan gubernur, mungkin orang Islam juga tidak mau mempermasalahkannya. Karena kita faham, penghinaan terhadap Al Quran, bersliweran di internet yang dilakukan orang-orang non Islam. Biarlah itu menjadi tanggungjawab mereka di pengadilan akhirat nanti. Kita boleh marah, tapi dalam dunia internet bebas sekarang ini, lebih baik kita membuat video yang lebih bagus dari orang-orang yang mencaci maki Al Quran itu.

Para founding fathers kita, ketika mendirikan negeri ini dan mencantumkan kebebasan berpendapat dalam UUD 1945, tentu telah berfikir panjang. Mereka menginginkan bahwa kebebasan bicara itu akan melahirkan pemikiran yang terbaik. Saat itu pendiri negara ini memilih jalan demokrasi daripada jalan sosialisme-komunisme. Mereka tidak mau komunisme karena dalam sistem komunis, negara akan menyensor ketat pemikiran atau pendapat yang beredar di masyarakat.

Saya menulis artikel ini khawatir negara kita akan berjalan ke arah sana. Sehingga masyarakat menjadi takut untuk bersuara, takut untuk mengritik pemerintah dan akhirnya takut melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsa.

Dalam sejarah Islam, kebebasan berpendapat terutama kebebasan mengritik penguasa itu terkenal di zaman khalifah Umar bin Khatab. Penguasa hebat yang memimpin negara besar –belasan negara Arab—di zaman ini. Suatu saat khalifah ditegur sahabatnya bahwa bila tidak menerangkan kain yang dikenakannya didapat dari mana, akan ditebas batang lehernya. Khalifah Umar tidak marah kritik keras sahabatnya itu dan dengan tenangnya menjelaskan bahwa jatah anaknya ia pakai, karena jubahnya tidak cukup satu potong kain. Saat itu negara membagikan satu potong kain ke tiap penduduk.

Kebebasan tentu ada batasnya. Batas terbaik adalah diri sendiri. Kendali diri. Negara tentu harus membantu. Bukan membatasi pemikiran, tapi membatasi hal-hal yang merusak. Misalnya menghapuskan pornografi dan seterusnya. Dunia pendidikan yang mengarahkan mana buku atau pemikiran yang patut dipahami oleh anak didik, mana yang harus dijauhi, mana yang harus dkritisi dan seterusnya.

Dan sebagai Muslim, kita yakin, dalam suasana demokratis, Islam akan berkembang pesat. Karena Islam lebih mendulukan dakwah, daripada hukuman. Lebih mendulukan kesadaran daripada paksaan. Dan pilihan tokoh-tokoh Islam di masa awal kemerdekaan, memilih ‘demokrasi’ sebagai jalan untuk menuju Indonesia adil dan makmur, adalah pilihan yang cukup tepat.

Dan saatnya Muslim tampil untuk bicara. Bicara dengan fakta dan data, bicara dengan kebenaran. Karena kebenaran (dengan dakwah) akan ‘menembus benteng-benteng kokoh dan dapat menghentikan peluru yang akan muntah dari senjata.’

DPR nampaknya harus segera merevisi UU ITE (Internet dan Transaksi Elektronik), terutama pasal ujaran kebencian, agar masyarakat menikmati kebebasan berpendapat kembali.

Walhasil, ada kabar gembira, Desember 2017 nanti rencananya akan tayang di bioskop-bioskop Film 212 The Power of Love, Perjalanan Sang Jurnalis Mencari Cinta Hakiki. Film ini disutradarai oleh Jastis Arimba dan disupervisi oleh Helvy Tiana Rosa. Wallahu azizun hakim. II

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *