Bolehkah Mengucapkan Selamat Natal?

by
Abu Deedat Syihabuddin. Foto: Zuhdi

Bagaimana pandangan MUI terkait hukum seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani?

Wartapilihan.com, Jakarta –Menjelang tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai Hari Natal bagi umat Kristiani, timbul perbedaan pandangan diantara umat Islam, tentang hukum mengucapkan Selamat Natal.

Ketua Komisi Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK-MUI) Abu Deedat Syihabuddin memaparkan, secara bahasa, Natal memiliki arti yaitu hari lahir. Dalam konteksnya, Natal adalah meyakini Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat seperti dalam Injil Lukas pasal 2 ayat 11.

“Jadi sudah jelas bahwa persoalan Natal adalah ibadah bagi umat Kristiani, meskipun Natal sendiri adalah adopsi dari kelahiran Dewa Matahari. Dimana Kaisar Konstanti percaya kepada Dewa Matahari yang lahir hari Minggu. Maka Minggu dikenal dengan Sun Day, tanggalnya 25 Desember,” papar Abu Deedat di Jakarta, Rabu (20/12).

Karena itu, kata Deedat, banyak sekte-sekte yang tidak melakukan hari natal seperti Adventis, Mormon, Saksi Yehova karena tidak memiliki dasar Isa Almasih atau Yesus Kristus lahir pada tanggal 25 Desember.

“Kalau ini tetap dipaksakan kepada umat Islam untuk terlibat dalam perayaan natal, maka termasuk salah satu bentuk intoleransi. Sebab, toleransi itu saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan,” tuturnya.

Deedat mengingatkan terkait fatwa MUI yang menyatakan umat Islam haram untuk mengikuti perayaan natal bersama. Sebab, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa Natal sama seperti Maulid Nabi.

“Fatwa (MUI) ini hanya ditujukan kepada umat Islam, umat Kristiani silakan saja (melakukan perayaan). Tugas MUI adalah mengawal aqidah umat,” imbuh pemateri tetap Radio Dakta tentang Kristologi itu.

Selain itu, Deedat mengingatkan fatwa MUI yang tidak memperbolehkan umat Islam menggunakan atribut-atribut agama lain. Dia menyerukan kepada MUI, guna menghimbau kepada pengusaha-pengusaha non muslim agar tidak memaksakan karyawannya menggunakan atribut yang berbeda dengan keyakinannya.

“Ini harus dijaga (toleransi), karena umat Islam tentu tidak akan melakukan yang bukan kewajibannya. Kami meminta kepada Manajemen perusahaan untuk tidak memaksakan karyawannya memakai atribut Natal. Sebab dalam Islam lakum dinukum waliyadin,” tegasnya.

MUI berharap agar masyarakat dapat menjaga kerukunan antar umat beragama, tidak memaksakan penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama. Hal itu, ujar Deedat, sesuai dengan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 179.

“Baik dalam bentuk aksi sosial penyebaran majalah atau brosur kepada orang yang sudah beragama. Di lapangan kita sering mendapati sekte Saksi Yehova melakukan hal ini. Mereka membuka outlet dan akan menimbulkan gesekan. Ini harus kita jaga, agar tidak ada gesekan antar umat beragama,” saran dia.

Untuk itu, simpul Deedat, Islam memiliki konsep dakwah agar tidak menyinggung perasaan umat lain. Tidak boleh menghina agama lain dan tidak memaksakan kehendak seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 256.

“Bagi yang sudah Islam, hukumnya wajib untuk mempelajari Islam lebih dalam,” pungkasnya.

Satya Wira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *