Berjudi dengan Pendidikan Masa Depan

by
Ustadz Harry Santosa. Foto: agenafrakids.com.

Orangtua kelahiran 80an-90an bahkan juga 70an, umumnya memang lebih percaya sekolah alternatif daripada sekolah negeri, namun sayangnya mereka tetap tidak memiliki wacana yang memadai tentang pendidikan yang hakiki dan misi sesungguhnya sebuah pendidikan. Di sisi lain, orangtua juga tak memahami perbedaan mendasar antara pendidikan dan persekolahan.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Mereka “have no idea” tentang perbedaan Tarbiyah, Ta’dib, Ta’lim, Tadris dstnya, umumnya hanya mengikuti arus atau trend semata.

Hal itu disampaikan Harry Santosa, pakar parenting berbasis fitrah. Ia menganalisis, sebagian orangtua ada yang fanatis dengan Sekolah Islam Terpadu, sebagian ada yang fanatis dengan Sekolah Alam, sebagian ada yang fanatis dengan memboarding school tahfidzkan anaknya bahkan sejak sekolah dasar.

“Belum lagi, sebagian lagi ada yang fanatis dengan model sekolah adab dan kitab seperti Kutab, sebagian lagi lebih nyaman dengan Home Schooling walau galaunya tiap hari dsbnya,” ungkap Harry dalam laman Facebook pribadinya, Rabu, (11/4/2018).

Ia menduga, para orangtua ini sebenarnya menyimpan obsesi pribadi untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, obsesi yang bisa berupa rasa takut atau rasa panik atau rasa ingin mengulang cita-cita masa lalu yang tidak tersampaikan; atau rasa malas mendidik anak sendiri; atau bahkan rasa paling benar dalam memilih sekolah.

“Lihatlah ketika melihat kekurangan Sekolah Islam Terpadu, sebagian anak anak nya “dicoba” di Sekolah Alam. Lalu ketika melihat kekurangan Sekolah Alam, sebagian anaknya “dipasang” di Boarding School baik yang tahfizh maupun yang bukan,” paparnya.

Lalu, yang membuat Harry prihatin, ketika melihat kelemahan lagi, mereka “mencoba” pertaruhan anaknya di Kutab. Lalu ketika melihat kelemahan lagi, mereka memilih Home Sxhooling. Lalu ketika kecapean Home Schooling mereka masukkan lagi anaknya ke salah satu sekolah di atas.

Ia mengatakan, hal ini semacam dengan orangtua yang “berjudi” dengan masa depan, dengan “memasang” anak anaknya secara distributif ke sekolah sekolah tersebut.

“Jika ada 10 anak dan ada 10 model pendidikan, pasti akan dipetakan “one one onto”. Mereka mau mengkomparasi hasil pendidikan dari semua sekolah itu,” imbuh alumnus Universitas Indonesia ini.

Dari hal tersebut, muncul pragmatisme atau kemalasan berfikir menemukan pendidikan sejati, dengan mengatakan semua sekolah baik, tergantung orangtuanya masing masing, tergantung cocok cocokan anak anaknya.

“Sayangnya, kebingungan para orangtua ini tak segera menjadi concern para pendiri sekolah, mereka umumnya malah sibuk berkompetisi untuk mendapat pangsa pasar terbanyak. Para orangtua dijadikan obyek marketing,” ia merasa prihatin.

Para konseptor masing masing sekolah itu, ia menjelaskan, walau substansinya sama yaitu mengambil dari Kitabullah dan sejarah peradaban namun belum begitu sempurna karena tak duduk bersama dan merasa paling benar sendiri.

“Sementara itu, peradaban Barat terus berbenah setiap hari, mereformasi dirinya tiada henti, maka kini sudah bukan waktunya lagi “Merasa Paling Benar Sendiri”, walau sumbernya jernih namun karena yang mengambil airnya adalah manusia, maka niscaya tidak steril dari cara pandang subyektif yang salah dan unsur hawa nafsu obsesif manusia.

Dengan menurunkan ego serendahnya, tawadhu dalam membangun peradaban gemilang seharusnya kita bisa berkolaborasi,” tekan dia.

Maka dari itu, ia menjelaskan, sesungguhnya umat membutuhkan panduan yang ajeg, tentang perbedaan kedudukan antara pendidikan dan persekolahan, antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim.

Orangtua pun sebenarnya membutuhkan pemahaman komprehensif tentang peran orangtua dalam mendidik dan peran sekolah, obyektif apa yang dididik oleh orangtua dan obyektif apa yang diajarkan oleh orangtua maupun sekolah.

“Orangtua harus tahu kapan dan bagaimana tahapan fitrah dibangkitkan, dirawat dan ditumbuhkan. Juga kapan dan bagaimana adab dibentuk dan ditanamkan. Juga kapan dan bagaimana ilmu pengetahuan dan keterampilan diberikan dan diajarkan,” tegas Harry.

“Dengan demikian tiada lagi orangtua yang berjudi dengan masa depan. Salam Pendidikan Masa Depan,” tutupnya.

 

Eveline Ramadhini