Bercerai Karena WhatsApp

by
Disamping memudahkan komunikasi, ternyata teknologi semacam WhatsApp dalam sisi lain bisa memicu perceraian. Foto: detikNews.

Jurnal CyberPsychology telah melakukan studi yang menyimpulkan bahwa 28 juta pasangan berpisah setiap tahun karena Whatsapp dan Facebook. Sebuah angka yang sangat fantastik.

Wartapilihan.com, Jakarta — Hal tersebut disampaikan Cahayadi Takariawan, konsultan keluarga. Ia mengatakan, semenjak ada alternatif untuk berkomunikasi melalui media sosial, ternyata turut membawa dampak pada pasangan suami istri (pasutri), bahkan terjadi konflik hingga ke tahap perceraian.

“Bagaimana konflik pasutri bisa terjadi akibat WhatsApp (WA), dan mengapa mereka memutuskan untuk berpisah? Para peneliti menjelaskan kasus ini dengan sebutan ‘sindrom double check’ dan sindrom ‘last seen online’. Istilah yang khas dalam komunikasi menggunakan teknologi WhatsApp, kata Cahayadi dari laman Facebook-nya, Sabtu, (20/10/2018).

Sebagaimana diketahui, tanda centang ganda atau “double check” adalah tanda kecil yang muncul setiap kali kita mengirim pesan melalui WA dan menandakan pesan telah terkirim.

Padahal kenyataannya pesan tidak selalu sudah terkirim dan terbaca, walaupun sudah muncul tanda centang ganda. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor koneksi internet atau server mengalami gangguan.

“Jika sepasang suami istri terbiasa berkomunikasi melalui WA, seharusnya mereka tidak boleh memutlakkan tanda centang ganda tersebut. Seakan-akan jika sudah muncul tanda double check itu berarti pasangan telah menerima dan membaca pesannya.

Padahal tidak selalu demikian. Perusahaan WA sendiri pernah mengakui hal tersebut, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya,” terang dia.

Saat suami mengirim pesan kepada istri dan sudah tampak tanda double check, sang suami percaya bahwa pesan tersebut sudah dibaca istrinya. Namun lama ditunggu tidak ada respon balik dari sang istri. Mulailah muncul perasaan tidak nyaman pada diri suami, mempertanyakan sikap sang istri.

“Ia menganggap istrinya tidak mengutamakan dirinya. Sudah satu jam sejak dikirimkannya pesan dan muncul tanda double check, belum ada respon dari sang istri. Hatinya mulai panas dan marah,” tukasnya.

Demikian pula ketika istri mengirim pesan kepada suami dan sudah tampak tanda double check, sang istri percaya bahwa pesan tersebut sudah dibaca suaminya. Namun lama ditunggu tidak ada respon balik dari sang suami.

Muncul perasaan jengkel karena menganggap suami tidak mau membalas pesannya. Bahkan muncul perasaan curiga, jangan jangan suaminya tidak mau berkomunikasi lagi dengannya, atau sang istri merasa ada sesuatu yang salah dari dirinya.

“Situasi ini bisa memunculkan konflik. Setelah bertemu, suami langsung memuntahkan kemarahannya kepada istri, yang menuduh istrinya tidak perhatian kepada dirinya.

Demikian pula sang istri langsung menumpahkan kemarahannya kepada suami, karena menganggap sang suami tidak mau membalas pesan pentingnya. Mereka berdua lebih percaya kepada teknologi WA daripada kepada pasangan,” kata penulis buku Wonderful Family ini.

Hal yang tak kalah penting untuk dibahas yaitu Sindrom “Last Seen Online” dimana hal tersebut merupakan tulisan yang bisa kita baca ketika sedang berkomunikasi menggunakan WhatsApp.

Tulisan itu tampak pada tampilan WA pasangan, dalam bahasa Indonesia tertera kalimat “terakhir dilihat hari ini pada 07.10”. Dengan tampilan itu, kita bisa mengetahui kapan pasangan terakhir membuka fitur WA di gadgetnya.

“Informasi seperti ini ternyata tidak selalu memberikan manfaat. Bahkan tidak jarang memberikan persoalan dalam komunikasi,” ia menegaskan.

Persoalan yang muncul dari ‘last seen online’ adalah ketika pasangan suami istri saling curiga satu dengan yang lain, karena menganggap pasangannya tidak mengutamakan atau tidak memperhatikan dirinya.

“Teknologi WA telah mengelabui perasaan suami dan istri sehingga mudah curiga satu dengan yang lain. Web lexiconin.wordpress.com menyebutkan empat kemungkinan kejadian dari sindrom ‘last seen online’ tersebut pada pasangan suami istri,” imbuh Cahayadi.

Pertama, pasangan seringkali percaya bahwa si dia tidak hanya berkomunikasi dengan diri kita. Artinya, pada saat yang bersamaan si dia juga tengah mengobrol dan berkomunikasi online dengan orang lain.

“Kedua, anda merasa janggal, karena anda sudah menutup pembicaraan dengan si dia menggunakan kata “Bye”, tetapi si dia masih tampak tetap online. Berarti si dia sedang menjalin komunikasi dengan orang lain,”

Dan yang ketiga, sang istri atau suami merasa tidak diutamakan. Sudah sekian lama si dia menggunakan waktu untuk online, namun hanya sedikit berkomunikasi dengan anda.

“Pada titik itu anda berpikir bahwa si dia lebih mengutamakan orang lain dibanding anda. Keempat, anda merasa si dia benar-benar tidak tertarik untuk berkomunikasi dengan anda lagi. Akhirnya anda merasa dijauhi dan tidak dibutuhkan oleh si dia,” tegasnya.

Maka dari itu, Cahayadi menekankan agar jangan pernah memutlakkan kebenaran teknologi. Pasalnya, sehebat apapun teknologi, tetap ada kelemahannya.

“Maka lebih percayalah kepada pasangan anda, bukan kepada WhatsApp. Jangan membabi buta menyalahkan pasangan hanya karena fenomena double check, atau curiga serta cemburu karena soal ‘last seen online’. Tidak ada yang mutlak dalam munculnya tanda serta informasi dalam teknologi komunikasi seperti itu,” pungkas dia.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *