“Benturan” Dakwah dan Misi

by
Arif Wibowo. Foto: Dok. Pribadi

Oleh : Arif Wibowo, Sejarawan

Pertanyaan yang selalu terlontar dari mas reporter muda itu adalah, “Apakah di lapangan terjadi benturan antara aktifis dakwah dengan para misionaris ?.”

Wartapilihan.com, Jakarta –Bentur yang dimaksud adalah benturan fisik. Mungkin dalam bayangan mas reporter muda itu, konstestasi antara dakwah Islam dengan misi Kristen itu berlangsung sangat heroik, seperti kalau “Laskar Jihad” ketemu dengan “Laskar Kristus” berpapasan di tengah jalan saat kedua kelompok itu berdemo. Ada saling hadang, saling dugang, jorog-jorgan, kampleng-kamplengan dan akan lebih joss kalau bacok-bacokan.

Tapi, ya begitulah artikel-artikel di “media-media” tak bersanad tapi popular di dunia maya, para penghasut di media social dan buzzer pencari suara menebarkan opininya di youtube, fesbuk atau twitter, dengan akun abal-abal tentunya. Meski guru mas reporter muda itu juga “kereng”, karena berasal dari Surabaya (mau tak tag kok pekewuh ya saya, soalnya beliau salah satu guru saya juga), tapi beliau aslinya lembut dan yang jelas tetap rasional.

 

Dari kelima narasumber yang ia temui, saya sendiri, emak-emak rempong van Salatiga, pak Dokter yang dari Muhammadiyah Ambarawa, mas Ibrahim –pemuda Garut yang setia mengawal masyarakat Cunthel Getasan – Kopeng dan mas Ihsan senior Tagana yang banyak blusukan dakwah di lereng Merapi sisi Boyolali Magelang, semua menjawab tidak ada benturan fisik. Dakwah adalah proses pendampingan untuk sebuah “kefahaman” yang lebih dalam tentang Islam, wataknya bersifat persuasif. Jadi ketika ada istilah “wong Jawa iku matine dipangku” maka relasi antara dakwah dan misi adalah proses kuat-kuatan “saling memangku”, berfastabiqul khoirot dalam melayani “masyarakat”.

Saya jadi ingat pesan dari salah satu ustadz saya saatk kuliah dulu, bahwa frasa “fastabiqul khoirot” itu lebih pas ditujukan untuk kontestasi antara muslim dengan non muslim. Kalau sesama muslim, harusnya yang berlaku adalah “Ta’awannu ‘alal birri wwat taqwa, wa laa ta’awannu ‘alal itsmi wal ‘udwan”. Jadi umat Islam harus berlomba-lomba menebar kebaikan dengan penganut agama lain, sedangkan ke dalam, sesama umat Islam, harus tolong menolong dalam kebaikan dan kesabaran.

Seperti yang dilakukan oleh team MCKS (Mu’alaf Centre Kota Semarang) di sebuh desa di lereng Merbabu, yang pasca 1965, 75 % penduduknya beralih menjadi Kristen. Ada sebuah keluarga yang kebetulan rumahnya di dekat masjid, kalau saat waktu sholat, ia akan menyetel lagu dangdut yang speaker aktifnya disetel maksimal. Saat beberapa minggu lalu dilakukan bakti social di sana, para aktifis MCKS tetap mendatangi rumahnya dan mengirim bingkisan yang memang dihadiahkan kepada seluruh penduduk dusun. Team itu hanya ditemui anak tuan rumah yang kelihatan glagepan, dan bilang kalau orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Ketika para dokter melakukan layanan pengobatan gratis pada bakti social tersebut, semua yang datang, entah itu muslim atau non mulim dilayani dengan baik. Yang khusus ditujukan bagi umat Islamnya adalah pengjian selepas bakti sosial.

Kisah mas Ihsan yang menangani sebuah desa di Kec. Selo lain lagi, desa yang dulu sempat menjadi desa dengan mayoritas warga beragama Kristen kini sudah menjadi desa yang mayoritas warganya adalah muslim. Proses konversi ke agama Islam berlangsung lama dan terjadi secara alamiah, melalui pergaulan dan pernikahan. Mas Ihsan mengatakan bahwa beliau sekedar melanjutkan dakwah yang dirintis bapaknya. Pendekatan ke anak-anak kecil (waktu itu) yang menyebabkan mereka kuat dalam ber Islam, dan ketika akan terjadi pernikahan berbeda agama, karena pihak mempelai yang muslim, entah laki-laki atau perempuannya, pemahaman Islamnya bagus, maka pihak yang non muslim memilih berkonversi ke agama Islam. Sehingga, saat ini di desa tersebut, warga Kristennya mayoritas ada di generasi tua.

Generasi yang masuk Kristen karena trauma politik pasca 1965 dan masivnya Misionarisme di desa-desa di awal Orde Baru. Mas Ihsan sendiri, terbilang akrab dengan penduduk dari kalangan “kasepuhan” dan biasa ngopi bareng dengan suasana akrab bersama bapak-bapak yang beragama Kristen tersebut. Pola dakwah ala mas Ihsan dan team inilah yang kemudian menjadikan 30 warga sebuah kampung yang keluarganya ter -Kristen dan Budda- kan pasca 1965, menjadi peserta pengajian dan belajar Islam dengan serius. Di kampung lainnya, dua bulan terakhir, ada 13 orang yang kembali ke pangkuan Islam.

Yang pakek gertakan keras memang ada juga, seperti cerita mbak Widi. Di sebuah kampung yang warganya masih 100 % muslim, ada seorang misionaris yang datang. Ia menghampiri seorang bapak yang tengah mencari rumput di pematang ladang. Mungkin bahasa misionaris itu vulgar, sehingga bapak-bapak yang ternyata aktifis masjid itu tersinggung. Dan kemudian, sabit yang digunakan untuk mencari rumput itu diacungkannya kepak misionaris itu sambil bilang, “Mas, kalau kamu nekat mau nyebarkan Kristen di desa ini, maka mendhing tak plathok ndhasmu lho mas sekarang.” Akhirnya sang misionaris tersebut ngibrit, ambil langkah seribu.

Cerita tentang potensi bentrok, baru didapat pada sesi akhir wawancara dengan mas Ihsan. Suasana mencekam di seputaran lereng Merapi di awal reformasi, di akhir tahun 1990an dan awal 2000an. Saat kutub-kutub ekstrem dalam beragama menemukan euforianya. Suatu saat, mas Ihsan didatangi seorang Laskar yang ngakunya dari Solo. Entah mengapa ia bisa sampai ketemu nama Ihsan dari Selo. Sang Laskar tersebut, kata mas Ihsan mendatanginya, untuk mengkonfirmasi nama-nama missionaris yang ada dalam catatannya. Kata, mas laskar misterius tersebut, ia sudah membentuk team untuk membereskan para missionaris itu.

Tawaran bantuan itu bukan menggembirakan tapi menggelisahkan. Karena, meski terjadi perpindahan keagamaan besar-besaran pasca penumpasan PKI dan awal Orde Baru, tapi bagaimanapun juga orang-orang tersebut adalah bagian dari keluarga batih / keluarga besar. Hubungan ketetanggaanpun masih berjalan dengan baik. Segera mas Ihsan matur ke bapaknya, dan bersama semua warga mereka kompak untuk menjaga kampungnya, supaya tidak ada orang luar yang berani bikin onar. Untunglah, kata mas Ihsan, waktu itu ada peristiwa Ambon, karena kemudian ancaman persekusi itu tidak pernah terwujud.

Yang juga menarik dari gerak para aktifis yang berkiprah di wilayah-wilayah rawan Kristenisasi itu adalah kemampuan komunikasi mereka, baik kepada non muslim maupun kepada sesama umat Islam. Salah satu tolok ukur berhasilnya dakwah, kata mas Ibrahim, adalah ketika warga yang non muslim sudah berani “curhat ke sang da’i. Jalinan psikologis itu penting, setidaknya biar tidak terjadi kesalah pahaman. Yang juga patut menjadi acungan jempol menurut saya adalah “ukhuwah Islamiyah” yang memang betul-betul terwujud diantara sesama muslim. Kalau di sebuah daerah yang rawan misionarisme itu organisasi keagamaan yang eksis dari kalangan NU, maka aktifis dari afiliasi lain hanya bertugas membantu.

Meski nanti yang nyari donasi keluar mayoritasnya adalah orang Muhamadiyah, maka donasi itu nanti akan dipasrahkan pada pegiat dakwah setempat yang NU itu. Bukan hanya itu, teman-teman yang di medsos oleh netizen NU diejek sebagai “Islam anyaran”, “jidat hitam dan kathok cingkrang”, “ora iso maca kitab” itu ketika mengumpulkan bantuan, juga akan diserahkan kepada mas da’i NU tersebut. Demikian juga teman-teman Nahdhiyin yang giat berbakti sosial, ketika wilayah tersebut suidah dihandle Muhamadiyah maka mereka tetap ikut membantu dan berpartisipasi.

Yang sering bikin ribut itu biasanya bukan “da’i” setempat, tapi orang luar yang hanya berkunjung sekali dua kali, buat kesimpulan kemudian “cuap-cuap” di medsos. Biasanya bahasa “benturan” bila ia bercelana cingkrang, atau suasana super dan contoh toleransi kalau kata aktifis yang sarungan. Kedua-duanya adalah orang luar, yang mendadak pinter dalam menyimpulkan, melebihi penduduk setempat yang merasakan dinamika tarik ulur keagamaan di kampung masing-masing. Saya sendiri, hanya mencoba merangkum, mudah-mudahan nggak ikut keminter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *