Masih banyak orang Indonesia memarkir dananya di luar negeri dan bebas pajak meski ia menikmati layanan di sini. Pemerintah harus tegas mengungkap pihak yang berpotensi melakukan pidana keuangan seperti ini.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kabar adanya duit orang Indonesia di bank Standard Chartered yang mengalir dari Pulau Guernsey di Eropa, ke Singapura pada akhir 2015 lalu membuat geger dunia keuangan di Indonesia. Duit sejumlah US$ 1,4 miliar atau kalau dirupiahkan menjadi sekitar 18,9 triliun itu nilainya sangat fantastis.
Saat ini, otoritas keuangan di Inggris dan Singapura sedang menyelidiki apakah ada unsur pidana terkait aliran dana itu. Beberapa media luar negeri sempat menyebut uang tersebut terkait dengan militer di Indonesia.
Namun Direktorat Jenderal Pajak membantah kabar tersebut. Dari data yang sudah dimiliki, aliran dana itu melibatnya 81 rekening milik orang Indonesia, dan tidak ada satu pun pejabat TNI, Polri, maupun penegak hukum lainnya terlibat. Termasuk pejabat lain yang berhubungan dengan instansi tersebut.
Dari penelusuran Dirjen Pajak, banyak alasan yang melandasi warga Indonesia ini melakukan transfer dana US$ 1,4 miliar. Seperti memindahkannya ke Singapura untuk ikut tax amnesty, ada juga karena alasan keterbukaan informasi (AEoI) walaupun Singapura dan Indonesia baru menerapkannya di 2018.
Selain itu, dalam temuannya, Dirjen Pajak menemukan dari 81 akun itu, 62 di antaranya ikut program pengampunan pajak atau tax amnesty. Selain itu juga dipastikan 81 nasabah yang melakukan transfer dari Guernsey Inggris ke Singapura adalah wajib pajak pribadi bukan badan.
Dirjen Pajak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga sudah berkolaborasi untuk mengungkap adanya aliran dana yang diduga untuk menghindari pajak. Penyelidikan ini diperlukan, karena negara bisa dirugikan dengan adanya aktivitas sepeti ini.
Apalagi ada kabar praktik seperti ini sudah jamak terjadi, bahkan duitnya berlipat dari yang sudah diketahui. Dengan begitu, maka itu berarti cadangan devisa Indonesia tidak tercatat dengan baik. Otoritas moneter akan sulit mengatur cakupan cadangan devisa yang ada di Indonesia.
Selain itu, bisa saja dana yang disimpan merupakan hasil tindak kejahatan di Indonesia, seperti korupsi. Ini yang perlu diselidiki, agar negara tidak rugi. Apalagi uang dengan jumlah yang besar tersebut disimpan di Indonesia, maka akan memberikan dampak yang besar bagi ekonomi nasional. Likuiditas di dalam negeri bisa baik sehingga kegiatan bisnis hingga mendorong perputaran roda ekonomi, menciptakan lapangan kerja.
Sementara parkirnya duit orang Indonesia di luar negeri, membuat hilangnya potensi penerimaan pajak. Padahal dana tersebut seharusnya bisa menjadi objek pajak dan bisa meningkatkan rasio pajak.
Banyak pihak menilai, perlu ada pengusutan tuntas dan tegas terkait aliran dana ini. Pemerintah juga harus mengungkap asal dana itu agar bisa terkuak, apakah ada motif lain selain penghindaran pajak. Seperti kemungkinan keterkaitannya dengan uang hasil korupsi, pencucian uang, dan kegiatan ilegal lain.
Karenanya, untuk mengusut tuntas motif transfer janggal triliunan rupiah itu, pemerintah perlu mengumumkan individu atau institusi pemilik dana tersebut. Saat ini, Ditjen Pajak masih mendalami lebih jauh terkait dana transfer tersebut.
Termasuk mengecek apakah uang itu sudah dilaporkan ke dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak atau belum. Ditjen Pajak menargetkan, pemeriksa mendalam terhadap 81 nasabah itu bisa rampung pada akhir Oktober ini.
Dengan adanya kejadian seperti ini membuktikan potensi duit orang Indonesia di luar negeri sangat besar. Kasus transfer Rp 18,9 triliun dari Guernsey ke Singapura itu diyakini hanya sebagian kecil dari uang para warga Indonesia yang disimpan di kawasan bebas pajak di luar negeri.
Dari data penelitian lembaga investigasi di Amerika Serikat, Global Financial Integrity, ada uang panas yang mengalir dari Indonesia ke luar negeri sebesar Rp1.000 triliun sepanjang 2010–2014.
Karenanya, pemerintah perlu mencermati ketidakwajaran profil warga Indonesia yang terlibat dalam transfer dana besar itu. Seperti dalam kasus Standard Chartered, transfer tersebut dilakukan oleh orang Indonesia yang memiliki pendapatan resmi tahunan relatif kecil. Namun memiliki rekening simpanan hingga triliunan rupiah.
Disinyalir ada praktik penggunaan nama orang lain untuk menyimpan uang di luar negeri ini. Tentu ini berbahaya bagi stabilitas moneter kita. Selain itu, kegiatan seperti ini juga sangat tidak adil. Karena ada banyak orang yang menikmati layanan di Indonesia, hidup di dari bumi Indonesia, tapi menaruh uang dan diputarkan di luar negeri, dan dia bebas dari kewajiban membayar pajak.
Rizky Serati