Hak Asasi Manusia (HAM) yang seringkali dijadikan argumen paling kuat
oleh para aktivis LGBT menuai banyak pro dan kontra karena tidak sesuai dengan aspek moral dan kebudayaan bangsa Indonesia. Bagaimana selayaknya Hak Asasi Manusia dibatasi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Awal mula lahirnya Hak Asasi Manusia (HAM)
ialah sejak pasca perang dunia kedua, dengan nama lain Universal Declaration of Human Rights (UDHR). HAM disetujui di 48 negara pada tahun 1948 dalam rangka memberikan pemahaman, bahwa kemanusiaan adalah bagian untuk menjadi manusia.
Hal tersebut disampaikan oleh Qurrata Ayuni, Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di INSISTS Saturday Forum, di Kalibata, Jakarta Selatan, (30/6/2018). Ia mengungkapkan, dalam perkembangannya Hak Asasi Manusia dijadikan “alat” untuk memerangi pihak yang mengedepankan moral dan budaya; yakni sebagai bentuk kebebasan individu dalam menjalani kehidupannya. Contohnya, perjuangan untuk pernikahan sesama jenis atau mengesahkan aborsi bukan sebagai pidana.
Terlebih, setiap negara memiliki standar HAM nya masing-masing yang kadang justru mendiskriminasi masyarakat lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Masyarakat Barat, yang diwakili oleh pihak yang mengajukan HAM mengatakan, sebenarnya sudah merasakan adanya bahaya yang ditimbulkan oleh pelaksanaan HAM manakala tidak diimbangi dengan batas dan tanggung jawab. Reaksi lain juga datang daru dunia Islam pada 5
Agustus 1990, di Deklarasi Kairo.
Banyak sarjana Islam yang mengkritik
karena tidak sesuai dengan kultur dam nilai religious negara berkembang, atau bangsa non-Barat,” terang Qurrata.
Salah satunya, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menyatakan dalam forum Deklarasi Kairo tersebut bahwa Islam memiliki standar HAM yang berbeda dengan Barat. Menurut Islam, manusia dianggap sebagai (1) makhluk yang mulia, (2) HAM dalam Islam adalah karunia Tuhan, (3) HAM dalam Islam bersifat kompeherensif, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dengan syariat, dan (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dengan tujuan menjaga hak dan kepentingan
masyarakat.
“HAM yang dilahirkan oleh Barat telah selalu berada pada posisi yang
terlihat kuat di luar, tetapi sangat rapuh di bagian dalam. Sejak kelahirannya, HAM merupakan perangkat yang sebenarnya ditujukan untuk membatasi kebiadaban Barat sendiri terhadap minoritas lainnya yang ada di Barat,” tutur dia.
Ia mencontohkan, Bangsa Israel yang dengan sengaja membunuh jutaan
orang Palestina, baik wanita, orang tua, anak-anak; yang dibunuh dengan membabi buta setiap tahunnya. Hal itu terjadi, menurut Qurrota, karena Bangsa Israel memiliki standar HAM-nya sendiri.
“Bagi mereka, mempertahankan ‘land of ancestor’ adalah sesuatu yang Hak Asasi Manusia, tidak peduli banyak yang mati atau bagaimana,” tegasnya prihatin.
Di Indonesia sendiri, ia melanjutkan, dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 J ayat 2 dikatakan, “…. Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan ha katas kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil.
“Maka dari itu, HAM di Indonesia telah dibatasi UUD 1945 yang merupakan bentuk hukum tertinggi di Indonesia,” imbuh dia.
Soal peran agama, Qurrota mengatakan, seringkali orang-orang yang mengagungkan HAM menganggap agama sebagai sesuatu yang anti-kebebasan.
Pemikiran ini dilandasi oleh pola pikir liberal yang sudah jadi sesuatu yang lazim di Barat.
Contohnya, para feminis yang mengatakan q “Tubuhku adalah milikku. Karena ini tubuhku sendiri” yang menimbulkan
banyak sesat pikir dan mengenolkan peran Tuhan dalam kehidupannya.
“Secara khusus dalam pasal tersebut, pembatasan HAM dapat dilakukan apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Secara tegas, hal ini dinyatakan konstitusi Indonesia sebagai dasar hukum tertinggi,” tegasnya.
Maka dari itu, dia menekankan agar umat Islam harus lebih percaya diri terhadap tafsiran HAM yang berbeda dengan tafsiran Barat, karena adanya nilai pembatasan HAM yang secara tegas diatur dalam pasal 28 J UUD 1945.
“Meski hampir semua orang di dunia bersepakat bahwa HAM memiliki nilai
kebaikan, namun yang tidak disadari adalah penafsiran HAM yang berbeda, tergantung dari konsep moral dan sosial yang ada di dalam sebuah negara.
Kita sedang dijajah oleh Barat dalam bentuk imperialism baru yang hendak menyamakan konsep HAM barat dengan di Indonesia. Padahal negara kita bisa saja menyusun HAM yang disesuaikan dengan kontekstualisasi agama dan budaya. Kita harus lebih percaya diri,” pungkas Qurrata.
Eveline Ramadhini