Khilafah Bani Abbasiyah di masa jayanya adalah pusat keagungan dan puncak peradaban di muka bumi. Namun demikian usaha keluarga keturunan Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah) untuk menaiki tangga kekuasaan awalnya mengalami jalan terjal.
Wartapilihan.com, Jakarta –Bani Abbas dikenal gemar bersekutu dan berkonsolidasi dengan pihak lain, dimulai ketika kakak-beradik Abu Al-Abbas As-Saffah dan Abu Jafar Al-Manshur, kedua orang ini adalah cicit dari Abdullah bin Abbas, sahabat Nabi SAW yang paling ahli tafsir Al-Qur’an. Sejarah pun mencatat keduanya sebagai pendiri Khilafah Abbasiyah.
Persekutuan Bani Abbasiyah dengan keluarga keturunan Ali serta pihak-pihak yang berseberangan dengan Khilafah Umayyah merupakan cara Abu Al-Abbas dan Abu Jafar dalam mengobarkan revolusi. Selain itu kezhaliman Kekhalifahan Umayyah di bawah Marwan bin Muhammad turut memperburuk citra Bani Umayyah di mata umat. Di internal Bani Umayyah sendiri juga sering terjadi konflik dan perpecahan, membuat Bani Umayyah semakin lemah dan melengkapi citra buruk di mata umat. Bani Abbasiyah memiliki kekuatan militer dari para simpatisan keluarga Nabi SAW, keluarga Ali bin Abi Thalib secara khusus dan juga penduduk Khurasan, Kufah dan Humaymah. Penduduk Khurasan bahkan menjadi pasukan inti Bani Abbasiyah yang mempropogandakan perang revolusi untuk mengambil alih kekuasaan. Demikian taktik maupun strategi ini, Bani Abbasiyah bisa menang saat memberontak terhadap Bani Umayyah, padahal sebelumnya sudah tak terhitung lagi kelompok-kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Bani Umayyah, tetapi selama ini selalu gagal.
Saat terjadinya revolusi Bani Abbas, Abu Muslim Al-Khurasani diangkat sebagai panglima besar. Jenderal yang bernama asli Abdurrahman bin Muslim Abu Muslim itu paham akan strategi, siasat militer maupun politik. Selain sebagai sekutu terdekat Bani Abbasiyah, ia sendiri merupakan figur pemberani dan berpengaruh, serta dikenal bijaksana dalam mengambil keputusan. Sifat-sifat panglima perang andal memang bersemayam dalam jiwa Abu Muslim. Selain itu, ia juga tokoh yang mengobarkan semangat anti-Bani Umayyah (lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Nihayah, juz V. h. 67)
Sekitar seperempat abad sebelumnya, pasca Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat Bani Umayyah kian hari kian merosot kewibawaannya, Bani Umayyah sering mengalami konflik internal. Citra mereka sebagai keluarga Khalifah kian hari kian jatuh. Misalnya seperti yang tercatat dalam Al-Akhbar wa Ath-Thiwal karya Ad-Dinawari, pada tahun 101 H, ajakan menyerahkan imamah (kekhalifahan) pada Ahlul Bait dan keluarga Rasulullah mulai menghangat, dengan semboyan ar-rida min ahli al-bait wa ali Muhammad. Tokoh yang mulai menyebarkan ide ini adalah ayah Abu Al-Abbas dan Abu Jafar sendiri, Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, yang tidak lain cucu Ibnu Abbas radhiallahu’anhu.
Muhammad bin Ali Al-Abbas itulah yang mula-mula membuat persekutuan politik dengan keturunan Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang paling awal untuk diajaknya berkonsolidasi adalah Abu Hasyim alias Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, putra dari Ibnul Hanafiah (Muhammad bin Ali). Jadi Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dan Abu Hasyim masih saudara, karena kakek mereka merupakan sepupu ( Al-Akhbar Ath-Thiwal, h. 332). Lama-kelamaan propoganda akan imamah dari Ahlu Bait semakin menggelora di tengah-tengah umat, terutama di wilayah Khurasan dan Irak. Sekitar seperempat abad lebih propoganda ini berhasl menggulingkan Kekhalifahan Umayyah.
Abu Muslim disebut tokoh kunci kekuatan Bani Abbasiyah dan peletak dasar kekhalifahannya, meskipun ia bukan keluarga Abbas. Penduduk Khurasan di setengah abad Khilafah Abbas berdiri merupakan pasukan militer utama, mereka sudah loyal terhadap Abbasiyah jauh sebelum orang-orang Persia dan Turki menopang militer kekhalifahan.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam