Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka tentu sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil, pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih.
Wartapilihan.com, Jakarta — Dalam Alquran Surat Al-Isra ayat 36 Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang berusaha sekuat tenaga menyerupai suatu kaum maka ia termasuk diantara mereka.”
Merujuk pada ayat dan hadits itu, sudah sepantasnya umat Islam melakukan tabayun (cross cek) asal muasal perayaan tahun baru masehi. Kenapa harus 1 Januari? Budaya dari kaum apakah perayaan tersebut? Hal itu dimaksudkan agar umat Islam tidak terjebak oleh ketidaktahuan yang menyebabkan terlempar ke dalam kesesatan.
Anggota Dewan Hisbah PP Persis Ustaz Amin Muchtar menjelaskan, dalam The World Book Encyclopedia (Cet. 1984, Vol. 14, hlm 237), penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari)
kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu dan permulaan (waktu).
“Maka, penamaan Januari berasal dari nama Janus yaitu dewa yang memiliki dua wajah. Wajah yang menghadap ke masa depan dan masa lalu,” kata Ustaz Amin.
Dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Cesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Perayaan tahun baru saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga dunia.
“Artinya, kebijakan tahun baru saat itu bukan hanya seremonial atau administratif saja, tapi juga merupakan persembahan atau ritual kepada para dewa yang harus diperingati,” ujarnya.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil, pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih.
Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja — Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan Pohon Suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, Dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sosok Dewa Janus dalam Mitologi Romawi
Dewa Janus sendiri adalah sesembahan kaum Pagan Romawi dan pada peradaban sebelumnya di Yunani telah disembah sosok yang sama bernama Dewa Chronos. Kaum Pagan, atau disebut kaum kafir menurut Islam, hingga kini bisa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya sehingga terkadang tanpa sadar umat Islam mengikuti mereka.
Sejarah pelestarian budaya Pagan (penyembahan berhala) sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) di Yunani. Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Bagi orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa Almasih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun sebelum masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Bagi orang Persia yang beragama Majusi (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah ketika Raja mereka ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama Jamsyad, yang ketika dia naik tahta, ia merubah namanya menjadi Nairuz pada awal tahun. Nairuz sendiri berarti tahun baru. Kaum Majusi juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.
Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam buku Nihayatul ‘Arob dan al-Muqrizi dalam al-Khuthoth wats Tsar. Di dalam perayaan itu, kaum Majusi menyalakan api dan mengagungkannya karena mereka adalah penyembah api.
Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai. Mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam, orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Setelah mengetahui bahwa tradisi perayaan 1 Januari merupakan perayaan yang terkait dengan ritual keagamaan dan budaya dari kaum kuffar, dan adanya larangan untuk menyerupai sebuah kaum. Sudah sepantasnya kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakannya apalagi meniru dari budaya kaum kuffar. Banyak hadits yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffar, diantaranya:
“Dari Anas bin Malik Ra. Ia berkata: Rasulullah Saw tiba di Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, “dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, “Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasulullah Saw mengatakan, “Sesungguhnya Allah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. ” [HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan al-Hakim].
Atsar Para Ulama Salaf
Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu allahumma berkata: “Barangsiapa membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [HR. Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi IX: 234].
Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Ali Ra. Diberi hadiah peringatan Nairuz (tahun baru), lantas beliau berkata, “Apa ini?”. Ali menjawab, “Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz.” Usamah berkata: Beliau (Ali mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan “Nairuz.” [HR. Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi IX: 234].
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin, Aisyah Ra, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abu Bakar Ra mengunjungi Rasulullah. Kemudian Abu Bakar mendengar dua gadis jariyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah pada hari ini.” [HR. Al-Bukhari].
Pembina Pesantren Ibnu Hajar, Bandung, Ustaz Amin Muchtar memaparkan, dari hadits itu ada dua hal yang dapat dipetik. Pertama, sabda Rasulullah tersebut ditegaskan Allah dalam Alquran Surat Al-Maidah ayat 48 yang berbunyi: “untuk tiap-tiap ummat diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. Kata Lam pada kata Likullin menunjukkan makna ikhtisash (pengkhususan). Apabila orang Yahudi memiliki hari raya dan orang Nasrani juga memiliki hari raya, maka hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka.
“Nah, kalau akhir tahun ada tabligh akbar, muhasabah, intropeksi, refleksi, dan lain-lain, dengan dalih daripada-daripada, maka sebenarnya beda-beda tipis dengan perayaan tahun baru. Hanya kemasannya saja yang berbeda. Sebab, Allah telah memberikan kita dua hari raya (i’edain) hari raya Jumat setiap pekannya,” tutur Direktur Hadits Institute Ibnu Hajar, Bandung ini.
Kedua, sabda Rasulullah Saw hari raya kita adalah pada hari ini dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lam dan idhafah menunjukkan hasyr (pembatasan), yaitu bahwa jenis hari raya dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut masuk pada cakupan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Adapun Jumat, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang-ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi umat Islam dan tidak mencari-cari perayaan hari lainnya. Nabi Saw bersabda:
“Allah simpangan dari hari Jumat umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki hari Agung pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allah datangkan kita dan Allah anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Allah jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat, sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya (HR. Muslim).
“Maka, sebagai seorang muslim, kita harus tegas dalam bersikap. Penegasan sikap kita sesuai Alquran dan As-Sunnah adalah cara menolak perayaan tersebut. Biarlah orang lain yang merasa enjoy, silakan. Tapi kita mempunyai sikap tidak merayakan tahun baru dengan casing apapun,” tutupnya. Wallahu A’lam.
Adi Prawira