Pemerintah Indonesia akhirnya membuat kesepakatan baru dengan Freeport. Pemerintah mendapatkan bagian terbesar saham dan pemasukan yang lebih besar, sementara Freeport boleh melanjutkan operasinya di Indonesia hingga 2041.
Wartapilihan.com, Jakarta –Meski berada di Indonesia, tambang Grasberg yang menjadi salah satu lahan paling berharga di dunia, telah lama dimiliki perusahaan asal Amerika. Tambang ini merupakan gudang bijih tembaga dan emas yang besar yang diekstraksi melalui lubang terbuka yang luas sedalam satu mil.
Pada pekan lalu, melalui drama yang dipicu oleh semangat nasionalisme sumber daya alam di seluruh dunia, pemilik Grasberg di Amerika secara tentatif setuju untuk memberikan saham mayoritasnya di PT Freeport Indonesia, yang selama hampir setengah abad lebih melakukan eksplorasi di Grasberg.
Kesepakatan tersebut diumumkan pada hari Selasa 29 Agustus lalu, antara
perusahaan pertambangan Freeport-McMoRan induk PT Freeport Indonesia, dan pemerintah Indonesia. Kesepakatan ini diharapkan juga bisa mengakhiri pertarungan antara kedua belah pihak yang membatasi produksi di tambang dan berdampak pada harga logam di seluruh dunia.
Perselisihan terkait status Freeport memang mulai menemukan titik temu, setelah tim renegosiasi pemerintah dan tim dari Freeport intensif membahas penyelesaian empat perkara yang menjadi ganjalan kerja sama pertambangan ini.
Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Richard D. Adkerson, CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold, juga beberapa kali bertemu.
Pada Juli lalu, saat kunjungan ke Texas, Amerika Serikat, Jonan sempat menyambangi Adkerson. Lalu beberapa hari sebelum terjadi kesepakatan, Adkerson juga ikut pertemuan antara Jonan dan Sri Mulyani.
Empat poin yang menjadi ganjalan belum terjadinya kesepakatan antara pemerintah dan Freeport adalah terkait perpanjangan kontrak, kewajiban pelepasan saham, pembangunan fasilitas pengolahan plus pemurnian (smelter), serta stabilitas investasi jangka panjang.
Menurut Menteri Jonan, Freeport sudah bersedia memenuhi berbagai persyaratan yang diminta pemerintah agar bisa melanjutkan investasi di Indonesia. Selain pelepasan saham hingga 51%, Freeport berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022, atau 5 tahun sejak Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) keluar.
Korporasi ini juga mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2 kali 10 tahun hingga 2041.Kesepakatan lain, Freeport akan menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik dibanding rezim Kontrak Karya (KK).
Menteri Sri Mulyani menyebutkan, hasil perundingan ini nantinya diusahakan agar bisa memberikan penerimaan kepada negara yang lebih besar sesuai Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Sehingga kesepakatan ini diharapkan bisa mendorong secara agregat penerimaan negara yang lebih besar, dan ini yang telah disepakati antara Pemerintah dan Freeport.
Sri menambahkan, sesuai dengan instruksi Presiden, perundingan dengan Freeport perlu menghasilkan kebijakan yang bisa meningkatkan kedaulatan negara terkait pengelolaan sumber daya alam. Di mana ada tiga poin yang tidak bisa dinegosiasikan, yaitu selain peningkatan penerimaan, juga ada divestasi, dan pembangunan smelter.
Richard Adkerson mengakui pihaknya akhirnya bersedia menaikkan kepemilikan saham pemerintah dari 9,3% menjadi 51% lewat divestasi.
Namun ia mengajukan syarat, perlunya tahapan waktu dan kompensasi yang sesuai harga pasar yang wajar. Mekanisme dan harga ini akan menjadi pekerjaan rumah selanjutnya untuk mencapai kompromi.
Sebab lain, yang membuat Freeport setuju dengan tawaran Pemerintah adalah adanya jaminan stabilitas investasi. Pasalnya, nilai yang digelontorkan Freeport untuk membangun tambang bawah tanah sangat besar, bisa mencapai US$ 20 juta.
Dari perhitungan yang dilakukan, investasi ini baru akan memeroleh keuntungan setelah 2041, dan separuh pendapatan pada 2031. Karenanya Freeport menginginkan adanya kepastian, di masa depan mereka mendapatkan revenue dari penanaman modal jumbo tersebut.
Kesepakatn ini memang masih akan berlanjut dengan pembicaraan soal transfer saham, hingga pepajakan. Namun, harapannya dengan adanya penbaruan kerjasama ini, nasib para pekerja Freeport segera tertangani. Protes dan kericuhan akibat mandeknya operasional Freeport bisa segera diselesaikan.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu hati-hati untuk menentukan siap yang akan berhak mendapatkan saham Freeport. Jangan sampai, imbuhnya, justru divestasi saham tersebut didapatkan oleh mereka yang memang pemburu rente menjelang tahun politik 2019 nanti. Jangan sampai ada skandal papa-papa minta saham yang lain.
Transfer saham Freeport juga perlu didasarkan atas penetapan harga yang wajar. Jangan sampai merugikan negara. Selain itu, Kementerian Keuangan perlu benar-benar adil menentukan besaran penerimaan yang bisa dipungut dari operasional Freeport.
Jangan sampai kebijakan ini malah membuat investor Indonesia khawatir dengan mas depannya, karena ketidakjelasan masa depan investasi mereka, setelah melihat penyelesaian masalah Freeport.
Rizky Serati