Abdullah Azwar Anas batal mencalonkan diri sebagai bakal calon wakil gubernur Jawa Timur, karena foto-foto ‘panasnya’ beredar di media massa. Dalam surat terbukanya, Anas tidak secara jelas membantah benar/tidak foto-foto yang beredar itu. Apa hikmah dari peristiwa ini?
Wartapilihan.com, Jakarta — Foto-foto panas Bupati Banyuwangi itu, bukan hanya beredar di medsos, tapi juga di media-media resmi portal berita internet. Seperti Jawa Pos, Tribunnews dan lain-lain. Anas menyatakan antara lain bahwa foto-foto itu adalah teror politik kepadanya. Berikut surat lengkap terbuka Anas kepada Megawati, para kiai, wartawan dll yang ditulis kembali oleh www. jatim.tribunnews.com :
“Yth. Para Kiai, tokoh masyarakat, kawan-kawan seperjuangan, rekan-rekan pers yang membanggakan, dan seluruh masyarakat Jawa Timur, teristimewa masyarakat Banyuwangi yang sangat saya cintai.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Melalui perenungan mendalam usai sholat Subuh hari ini, dengan memohon pencerahan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala dinamika yang terjadi, dengan ini saya menyampaikan beberapa hal.
Berbagai cobaan, godaan kekuasaan, penyuapan, bahkan cara-cara yang tidak manusiawi telah saya lalui dalam hampir dua periode memimpin Banyuwangi, dan alhamdulillah, saya bisa atasi dan masyarakat Banyuwangi memberi apresiasi atas kerja pelayanan saya dengan berbagai indikator perbaikan yang rigid dan terukur, seperti penurunan kemiskinan dan peningkatan pesat pendapatan per kapita rakyat.
Namun ketika saya berproses dalam pencalonan sebagai wakil gubernur, ada pihak-pihak yang menggunakan segala cara yang mengorbankan kehormatan keluarga saya, rakyat Banyuwangi dan Jawa Timur, serta para ulama dan sesepuh yang selama ini membimbing saya.
Untuk itu, demi tanggung jawab saya kepada masyarakat, bahwa menjadi pemimpin itu harus amanah, juga demi terwujudnya program-program kerakyatan partai dalam pembangunan untuk menyejahterakan rakyat Jatim, maka saya memberikan kembali mandat penugasan sebagai cawagub Jatim ke partai.
Saya sungguh mengucapkan terima kasih, kepada Ibu Megawati Soekarnoputri, keluarga besar PDI Perjuangan dan Nahdliyin yang telah memberi kepercayaan kepada saya. Ibu Megawati telah mengajarkan kepada kami semua untuk memegang teguh komitmen terhadap aspek-aspek kepemimpinan.
Akhir kata, saya tetap percaya bahwa mereka yang menggunakan politik segala cara akan diberikan keadilan oleh Allah SWT. Saya percaya ada nur-keadilan yang akan menerangi hamba Allah yang tidak sempurna ini.
Untuk selanjutnya, saya akan berjuang dengan segenap daya dan upaya, bersama-sama rakyat Banyuwangi, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua sebagaimana telah berhasil kita jalankan dalam hampir delapan tahun terakhir.
Wassalamualaikum Wr Wb.”
000
Dalam Islam, seorang pemimpin harus siap dikritisi oleh rakyatnya. Kehidupan pribadi, rumah tangganya, gagasan dan pemikiran-pemikirannya mesti dibuka secara transparan kepada publik. Sehingga masyarakat memahami kepribadian seutuhnya pemimpin itu dan kemana pemimpin akan membawa kehidupan rakyatnya di masa depan.
Pemimpin dalam Islam adalah ikon atau tuntunan bagi rakyatnya. Ia bukan hanya bertugas untuk menyejahterakan ekonomi rakyatnya, tapi juga membimbing rakyatnya agar makin bertaqwa kepada Allah.
Dalam Al Quran, surat al Hajj ayat 41, Allah SWT berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Dalam ayat itu jelas bahwa seorang pemimpin (orang-orang yang diteguhkan kedudukannya oleh Allah di muka bumi) mempunyai tugas yang tidak ringan. Yaitu menyeru kepada masyarakat untuk menegakkan shalat (ibadah ritual), menunaikan zakat (ibadah sosial), dan menyuruh berbuat makruf dan mencegah kemungkaran. Tentu seruan itu tidak akan efektif bila pemimpin itu tidak melaksanakannya terlebih dahulu. Allah mengancam seseorang –termasuk pemimpin- yang tingkah lakunya berbeda dengan ucapannya. “Wahai orang-orang yang beriman. Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak engkau kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika engkau mengatakan apa-apa yang tidak engkau kerjakan.” (QS Ash Shaff 2-3).
Menafsirkan ayat ini, Buya Hamka dalam Tafsir al Azharnya mengutip pernyataan Syekh Jamaluddin al Qasimi,”Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai muruah, yaitu yang tahu harga diri. Sedang muruah itu adalah dasar yang utama yang menyebabkan timbulnya iman. Karena iman yang asli ialah kembali kepada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya dia pula akan menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai ragamnya, yang diantaranya ialah iffah mengendalikan diri, artinya dapat mengendalikan diri. Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri, dan itulah dia muruah atau marwah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muruahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah kabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut memakai bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang berbeda diantara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian maka pelakunya telah msuk ke dalam perangkap setan.”
Patut juga para pemimpin negeri ini mengambil ibrah dari surat-surat Sayyidina Ali yang sangat berharga. Nasehat khalifah keempat ini adalah surat-surat yang dikirimkannya kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.
Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat Sayyidina Ali ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 ia menyebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric. Diantara nasehatnya adalah:
“Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar.
Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana engkau menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam. Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana engkau bicara tentang mereka.
Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan (dapat) ‘menggelapkan’ semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan engkau peroleh jika engkau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu.
Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka. Jangan katakan:”Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati”, karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu.
Bila engkau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang engkau sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.” II
Izzadina