Dalam melaksanakan agama untuk memecahkan masalah dalam kehidupan ini, sering kita mendengar bahwa umat Islam boleh menggunakan dua dalil, yaitu dalil Aqli ( aqal ) dan dalil naqli ( nash ).
Wartapilihan.com, Depok– Dalam Islam, hukumnya adalah boleh ( halal ) manusia menggunakan aqalnya atau biasa disebut aqal pikiran sebagai instrumen jasmani dan ruhani dalam menyimpulkan dan memutuskan suatu persoalan.
Namun demikian, bila persoalan itu telah ditemukan dalil nashnya, maka aqal tidak diperlukan.
Oleh karena itu ulama mengatakan, ” Bila aqal bertemu atau berbenturan dengan nash, maka aqal harus tunduk ( dikalahkan ) ”
Kenapa demikian ?
Sebabnya adalah, bahwa aqal sebagai instrumen jasmani dan ruhani, lebih bersifat relatif dan labil lantaran terbatas dan tidak sempurna.
Sedangkan nash bersifat tetap dan sempurna kebenarannya dikarenakan bahwa nash adalah kalamullah.
Kita tahu bahwa aqal manusia itu berproses ( untuk mencapai kepintaran dan kecerdasan ) dan melalui tahapan-tahapan.
Aqal anak kecil tidak sama dengan aqal orang dewasa.
Dan aqal orang yang tidak menuntut ilmu tidak sama dengan aqal orang yang telah menuntut ilmu.
Bahkan aqal orang-orang yang sama-sama telah nenuntut ilmu seringkali berbeda dalam kecerdasan dan kepintaran sehingga kadang bersifat relatif dan terjadi perselisihan.
Sedangkan nash qur’an dan hadits tidak demikian, karena nash adalah kalamulah yang di antaranya ada yang melampaui aqal manusia.
Oleh karena itu Nabi berkata ; ” Kamu tidaklah dikatakan beriman sampai aqalmu mengikuti sunnahku ”
Maka itulah, Abu Bakar mendapat julukan “sidik”, karena bila aqalnya bertemu dengan perkataan Nabi, aqalnya ia kalahkan.
Misalkan seandainya, sekalipun tembok berwarna merah dalam pandangan Abu Bakar, tapi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan putih, maka Abu Bakar ikut mengatakan putih.
Begitulah iman Abu Bakar Radhiallahu Anhu kepada nash.
( Iwan Hasanul Akmal )