Sejak 2014, Indonesia membangun sekolah, rumah sakit, serta bantuan sandang dan pangan ke masyarakat Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pada Senin (4/9), masyarakat Indonesia melakukan aksi solidaritas untuk Muslim Rohinya. Beberapa aksi dilakukan serentak, seperti di depan Kedubes Rohingya oleh ratusan kaum ibu yang menamakan diri mereka “Sahabat Muslim Rohingya” dan aksi di depan Gedung Sate, Bandung. Hari ini, berpusat di bunderan HI, Jakarta, aksi bertajuk “Gerakan 69” kembali digelar.
Sejak akhir Agustus lalu, warga Indonesia menaruh perhatian terhadap isu genosida yang dialami etnis Rohingya di Myanmar. Banyak di antaranya yang menunjukkan simpati. Namun, tidak sedikit pula yang melontarkan pertanyaan di jejaring sosial perihal apa yang telah dilakukan Indonesia untuk Muslim Rohingya.
Peran Indonesia pada 2012—2014
Konflik di Negara Bagian Rakhine mulai menjadi perhatian dunia pada tahun 2012. Saat itu, banyak etnis Rohinya yang melarikan diri ke negara tetangga, tak terkecuali Indonesia, menggunakan kapal kayu. Akibatnya, banyak warga Rohinya yang terkatung-katung di tengah lautan.
Di tahun 2012, Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada saat itu di Sidang KTT Luar Biasa OKI, menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi di Rakhine.
Marty menekankan dan mengajak negara anggota OKI untuk mendukung minoritas Muslim di negara non-OKI.
“OKI harus memberi perhatian khusus kepada kondisi kaum minoritas Muslim di negara-negara non-anggota OKI. Konflik komunal yang baru-baru ini dialami kaum Muslim Rohingya di Myanmar merupakan sumber keprihatinan yang mendalam,” katanya dalam pidato di hadapan perwakilan OKI di Mekah, Arab Saudi.
Setelah sebelumnya Menlu dan Predisen RI Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu mengunjungi Myanmar pada 2013, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Wamenlu pada saat itu, AM Fachir, meresmikan empat buah sekolah yang dibangun di tiga desa di Rakhine pada Desember 2014. Pembangunan sekolah tersebut menghabiskan dana mencapai US$ 1 juta.
Seperti dikutip dari laman resmi Kemlu, AM Fachir menjelaskan bahwa Indonesia secara aktif mendorong rekonsiliasi konflik di wilayah Rakhine melalui pendekatan kemanusiaan. Bahkan, pada saat itu, perwakilan Myanmar mengatakan bahwa pihaknya ingin meniru Indonesia yang dapat meredakan konflik di Ambon.
Peran Indonesia pada 2016—2017
Pada Oktober 2016, Negara Bagian Rakhine kembali memanas setelah gerilyawan membunuh polisi perbatasan Myanmar. Akibatnya, puluhan ribu orang menyeberang ke Bangladesh. Menurut pernyataan PBB, militer Myanmar terindikasi melakukan kejahatan perang dengan membunuh, memperkosa, dan membakar permukiman Rohinya.
Pada 7 Desember 2016, Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Pemimpin Myanmar yang juga peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Di pertemuan itu, Menteri Retno mengungkapkan keprihatinannya dan menekankan pentingnya pembangungan yang inklusif bagi konflik di wilayah Rakhine.
State Counsellor Myanmar juga menyampaikan apresiasi atas dukungan pembangunan Indonesia selama ini, termasuk bantuan kemanusiaan Indonesia yang telah masuk ke Rakhine State pasca kejadian 9 Oktober 2016 lalu. “Pemerintah Myanmar telah membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan dari Indonesia sehingga memungkinkan bantuan dari PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat) untuk sampai di Rakhine State”, tegas Menlu RI, seperti dilansir laman resmi Kemlu.
Pada akhir 2016, Indonesia membangun 2 sekolah baru di Rakhine sehingga ada 6 sekolah yang dibangun dari bantuan warga Indonesia.
Masih di bulan yang sama, tepatnya pada 29 Desember 2016, Presiden Indonesia, Joko Widodo, telah memeriksa empat dari sepuluh kontainer yang akan diberikan kepada warga di Rakhine. Pengapalan bantuan kemanusiaan tersebut merupakan tindak lanjut dari komunikasi pemerintah Indonesia dengan Myanmar mengenai pentingnya akses bantuan kemanusiaan ke Rakhine State. Bantuan kemanusiaan tersebut diperuntukkan bagi komunitas Muslim dan pihak lain yg membutuhkan di Rakhine State.
Menurut Kemlu, bantuan kemanusiaan tersebut terdiri dari mi instan, tepung gandum, makanan balita, dan sarung sebanyak total 10 kontainer.
Bantuan tersebut resmi diberikan pada 21 Januari 2017 yang diberikan langsung oleh Menlu Retno Marsudi. Sekali lagi, Indonesia menegaskan posisinya dalam membantu meredakan konflik di Rakhine dengan dukungan konstruktif.
“Indonesia memilih untuk mengambil langkah konstruktif membantu Myanmar dalam menciptakan perdamaian, stabilitas, dan pembangunan di Rakhine State,” demikian tegas Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di acara penyerahan bantuan kemanusiaan Indonesia untuk masyarakat Rakhine State.
“Dalam waktu 2 bulan saya telah berkunjung ke Myanmar 3 kali tidak saja untuk ketemu dengan State Counselor Daw Aung San Suu Kyi, namun juga bicara dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengetahui cara terbaik membantu Rakhine State”, tutur Menlu RI.
Pada kesempatan tersebut, Menlu RI sampaikan komitmen Indonesia untuk terus membantu Myanmar dalam jangka menengah dan panjang, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, kewirausahaan, serta demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
“Indonesia berharap bantuan ini dapat membantu menciptakan kondisi kondusif bagi perdamaian dan stabilitas yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan inklusif di Myanmar, khususnya Rakhine State,” jelas Menlu RI.
Pada Senin 4 September 2017, Menlu Retno tiba di Naypyitaw, Myanmar. Selain bertemu State Counsellor Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi, Menlu Retno melakukan serangkaian pertemuan dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Menlu Myanmar, dan sejumlah menteri serta pejabat Myanmar lainnya.
Menlu Retno membahas progres pembangunan rumah sakit di Myauk U, Rakhine State. Pembangunan rumah sakit tersebut diharapkan dapat meredakan ketegangan komunal yang terjadi di wilayah tersebut.
“Pembangunan tahap pertama Rumah Sakit Indonesia telah selesai dilakukan. Tahap Pertama ini meliputi pengurukan tanah sehingga rumah sakit tersebut tidak rentan terhadap banjir serta pembangunan pagar,” Menlu Retno menjelaskan.
Pemerintah Indonesia berharap, dengan dibangunnya rumah sakit, pembangunan yang inklusif dapat dirasakan. Maka, ketegangan komunal akan mereda di wilayah Rakhine.
Moedja Adzim