Seorang bocah perempuan berusia 7 tahun diperkosa, di Jayapura, Papua. Menanggapi hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengecam dan akan menerapkan hukum kebiri. Efektifkah kebijakan tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta –Hari ini, 11 Oktober 2017 merupakan hari anak perempuan internasional. Dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak 2012, peringatan hari anak perempuan internasional ini dibuat dalam rangka memajukan hak asasi manusia bagi anak perempuan, baik dari segi akses pendidikan dan kesehatan yang setara.
Namun, bagaimana jika dari segi kemerdekaan sebagai anak-anak pun kian terenggut? Justru kemerdekaan sebagai perempuan yang bebas dari intimidasi seks jauh lebih mendasar dan krusial. Baru-baru ini, di Jayapura terjadi kasus pemerkosaan terjadi lagi pada anak perempuan usia 7 tahun.
Reza Indragiri Amriel sebagai anggota Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menegaskan, hukuman kebiri sebagai balasan bagi pemerkosa tak kunjung terealisasi.
“Bukan kali ini saja Menteri Yohana menyampaikan ancaman kebiri. Berulang kali! Tapi, kapan akan terealisasi? Bahkan mundur sedikit; sebatas petunjuk teknisnya pun entah kapan akan difinalisasi?” Reza bertanya-tanya, kepada Warta Pilihan, Rabu, (10/10/2017).
Ahli psikologi forensik ini mengatakan, adalah hal yang berlebihan jika kebiri dijadikan ancaman untuk memunculkan efek jera. Pasalnya, kebiri, menurut Reza bukan hal yang efektif karena pelaku predator ini masih bermotif kontrol dan amarah, justru akan jadi lebih berbahaya.
“Di Jerman, kebiri dilakukan berdasarkan permintaan si Napi predator seks. Wajar mujarab, karena berangkat dari kesadaran dan keinginannya sendiri. Kebiri adalah bagian dari rehabilitasi,” papar Reza.
“Di sini, kebiri adalah hukumanan sih. (Tapi) Predator yang bermotif kontrol dan amarah, setelah dikebiri malah semakin marah. Bukannya jera, malah kian berbahaya. Yang pantas adalah hukuman mati,” pungkas dia.
Peran Pemerintah Baru Omong Belaka?
Sementara itu, Idham Khalid selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat menjelaskan, meski pemerintah telah menetapkan UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002, dituangkan lagi ke UU nomor 35 tahun 2014, ternyata anak masih dalam bayangan ancaman para predator pedofil yang selalu siap menerkam anak.
“Kekerasan seksual dan berbagai jenis kekerasan lainnya serta penganiayaan anak makin marak di mana2. Mengapa?
diakibatkan oleh sikap pemerintah yang lalai dan juga Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, pelit,” ungkap Idham kepada Warta Pilihan, Rabu, (11/10/2017).
Pemerintah, menurut Idham, pelit untuk sekadar menganggarkan kepada pihak lembaga-lembaga pekerjaan sosial perlindungan anak untuk melakukan edukasi Sosialisasi kepada para masyatakat agar memahami UU PA.
“Mulai dari tingkat kota sampai ke pedesaan RT/RW harus disosialisasikan agar masyarakat mengetahui tentang Undang-Undang Perlindungan Anak agar masyarakat berhati-hati, sehingga tidak sembarang melakukan kekerasan terhadap anak,” imbuh Idham.
Pemerintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan, pengurangan risiko dan penanganan kasus yang melibatkan lembaga-lembaga.
Sebagaimana tercantum pada pasal 116 ayat 1. Adapun yang dimaksud pencegahan adalah (1) memperkuat kemampuan dan keterampilan Orang Tua melalui program pendidikan dan program pelayanan konseling; (2) memperkuat kemampuan dan pemahaman Anak tentang Hak Anak dan perlindungan Anak; (3) meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat, melalui program pendidikan dalam memahami Hak Anak dan perlindungan Anak; (4) memberikan pedoman monitoring dan evaluasi Pengasuhan Anak yang dikembangkan bagi penyelenggara Pengasuhan Alternatif; (5) meningkatkan kemampuan penyelenggara Pengasuhan Alternatif dan Pengasuhan.
Menurut Idham, dalam Undang-Undang memang sudah diatur, tetapi dalam implementasinya, tidak diberikan edukasi kepada masyarakat dan juga anak. “Walaupun pemerintah dn Negara membuat UU PA, yang lebih keras misalnya hukumanya dibuang ke kandang buaya tapi kalau tidak diberi edukasi kepada masyarakat, tetap kejahatan dan kekerasan terhadap anak akan berkelanjutan,” tutur dia menekankan.
Sejauh ini, berbagai kasus yang terjadi pada anak masih dalam masa pendampingan oleh LPAI sebagai LSM yang ada di berbagai provinsi, juga di wilayah Papua yang dipimpin oleh Idham Khalid.
Kondisi Anak-anak Papua
Idham mengatakan, kondisi anak-anak saat ini di Papua cukup memprihatinkan. Pasalnya, anak-anak jalanan masih dibiarkan berkeliaran sampai malam. Mereka dieksploitasi oleh orangtua dan juga orang luar berupa oknum tidak bertanggung jawab. Namun, pemerintah daerah masih kurang merespon.
“Dalam hal ini, dinas BP3A-KB dn Dinas Sosial di Daerah kurang merespon. hal ini yg kurang di response oleh oknum pihak pemda2 di daerah,” papar dia.
Salah satunya, kejadian pemerkosaan anak 6 tahun pada tanggal 7 Oktober 2017, saat kejadian tersebut dari pihak dinas BP3KB-PA dan dinas sosial setempat cuma datang hadir melihat kejadiannya, tetapi tidak memberikan uluran tangan untuk membantu korban, justru dari LPAI yang setia mendampinginya.
“Cuma (sekedar) belikan popok saja untuk si korban tidak, malah pendampingan dari LPAI Jayapura yang siap setia mendampingi mulai awal masuk rumah sakit sampai anak tersebut keluar RS dan saat ini sementara anak tersebut dalam perlindungan LPAI Jayapura, sampai menunggu persidangan,” pungkas Idham.
“Sampai saat ini si pelaku belum diketahui dan belum ditemukan, tapi InsyaaAllah dengan kepolisian setempat pasti bisa ditemukan,” tandas Idham optimis.
Eveline Ramadhini