Demi melindungi anak-anak kita dari barang mudarat bernama rokok, sudah saatnya hukum dipersilakan masuk lebih dalam lagi guna membentengi kehidupan generasi belia Indonesia, yaitu memberikan hukuman kepada orangtuanya untuk mencabut hak asuh.
Wartapilihan.com, Jakarta — Hal tersebut disampaikan Reza Indragiri Amriel, Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Ia menanggapi soal RAP, seorang anak berusia 2,5 tahun yang telah kecanduan merokok, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Orang tua RAP, Misbahudin (36) dan Maryati (35), mengaku tak dapat melakukan banyak untuk mencegahnya. Setiap hari, anak tersebut bisa merokok dua bungkus.
Awalnya, sang anak memunguti puntung rokok untuk dihisap. Namun, sang anak mulai meminta rokok pada orangtuanya yang memiliki usaha warung. Jika tidak diberikan rokok, maka anak akan menangis dan meraung seharian.
Melihat hal ini, Reza mengatakan, jalur pidana dengan memanfaatkan pasal 76J ayat 2 UU Perlindungan Anak tidak cukup, karena itu, masalah anak-anak yang menjadi perokok juga sebarusnya dapat diatasi lewat terobosan perdata, yakni dengan mencabut hak asuh orangtua.
“Perhatian hakim pada kebiasaan merokok ayah dan bunda terkait pengasuhan anak sesungguhnya sudah ada presedennya.
Doktrin yang mendasarinya adalah parens patriae. Arti doktrin tersebut adalah negara (dalam hal ini hakim) melindungi kesejahteraan individu-individu yang dianggap ringkih, termasuk anak-anak, yang tidak mampu memajukan serta melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri,” kata Reza, Rabu, (18/8/2018).
Ahli psikologi forensik ini mengungkapkan berbagai sidang di berbagai negara yang mencabut hak asuh orang tua karena rokok.
Tercatat di persidanganangan pertama di mana masalah rokok masuk dalam pertimbangan hakim adalah perceraian antara Tuan dan Nyonya Satalino pada 1990.
Hakim eksplisit menyetarakan orang tua yang merokok dengan orang tua yang mengkonsumsi alkohol dan menyalahgunakan narkoba, sebagai dasar penentuan orang tua yang akan memegang kuasa asuh anak.
Ia juga memberi contoh, di sejumlah ruang sidang di Amerika Serikat tidak sedikit ibu yang kalah dalam perebutan kuasa asuh akibat kebiasaannya merokok disebut hakim sebagai faktor yang paling menghambatnya menjalankan pengasuhan.
“Ada pula ibu yang terpaksa menelan pil pahit karena hakim tingkat banding mengalihkan kuasa asuh dari dirinya ke pihak mantan suami.
Pertimbangan hakim tingkat banding, ayah dan istri barunya bersih dari rokok, sementara ibu dan tunangannya hidup laksana lokomotif berbahan bakar batu bara. Ayah dan istri barunya itu, dengan demikian, dinilai hakim bukan merupakan second hand smoke serta tidak akan menciptakan tempat tinggal yang disesaki oleh berbagai racun dari rokok (third hand smoke),” terang dia.
Dalam persidangan lain, Reza melanjutkan, mengetahui bahwa kedua orangtua si anak adalah perokok berat, hakim memutuskan untuk menyerahkan kuasa asuh atas anak itu ke pihak selain ayah dan ibunya.
“Di Ohio, ada hakim yang menetapkan syarat bahwa orang tua boleh mengajak anaknya berjalan-jalan hanya apabila mereka sanggup melarang siapa pun merokok di hadapan anaknya itu,” papar dia.
Lebih progresif lagi, Reza mengungkapkan, memanfaatkan hak konstitusionalnya untuk didengar pendapatnya, anak dari pasangan bernama David dan Johnita meminta perlindungan kepada hakim dari ancaman kesehatan yang bisa ia derita akibat terpapar asap rokok ibunya.
“Hakim Pengadilan New York mengabulkan permintaan anak tersebut. Mengutip sekian banyak hasil penelitian tentang pengaruh negatif rokok terhadap kesehatan, hakim memerintahkan Johnita untuk sama sekali tidak merokok paling sedikit selama dua puluh empat jam sebelum ia mengunjungi anaknya itu,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini