Amr bin Luhay disebut sebagai pionir penyembahan berhala (pemberhalaan) di kalangan bangsa Arab. Dia-lah yang “menyempurnakan” budaya syirik di Makkah. Tidak lama berselang, pemberhalaan menyebar ke seluruh Hijaz dan tanah Arab.
Wartapilihan.com, Jakarta — Sebelum Amr bin Luhay, suku-suku dan kabilah Arab sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran hanif Nabi Ibrahim dan Ismail alaihimassalam. Hanya saja penyimpangan serta ibadah syirik tersebut belum pada taraf menyembah berhala (patung-patung). Pada masa itu, seperti dikisahkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, ketika orang-orang Arab mengalami kesulitan mereka biasa mencari rezeki ke negeri-negeri lain dengan membawa batu dari tanah suci Makkah.
Awalnya, mereka menganggap hal itu sebagai bentuk penghormatan semata terhadap tanah suci Makkah. Ketika mereka datang ke suatu negeri, mereka meletakkan batu tersebut dan mengitarinya laksana thawaf ke Ka’bah. Belakangan, mereka ‘melupakan’ sikap yang seharusnya dilakukan terhadap bongkahan batu. Akhirnya mereka pun mengagungkan batu-batu tersebut dan berbuat syirik. Itu yang pada mulanya dilakukan bangsa Arab ( Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq di sub-bab Asal-Usul Penyembahan Berhala di Jazirah Arab ).
Terkait hal ini, apa yang dilakukan Amr bin Luhay adalah menyerukan kesyirikan dalam bentuknya yang menyimpang “sempurna” dari Tauhid, pemberhalaan. Sebelum Amr bin Luhay, sisa-sisa agama hanif Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail semakin tergerus karena banyaknya batu-batu dari Makkah yang dianggap keramat serta disugestikan oleh pemiliknya seolah-olah memiliki daya maupun khasiat tertentu, meskipun orang-orang Arab waktu itu masih mengadakan ritual ibadah Nabi Ibrahim.
Sedikit demi sedikit penghormatan kepada batu itu menjadi pengkramatan. Gejalanya pun semakin masif. Oleh karena itu tidak mengherankan waktu Amr bin Luhay membawa batu-batu dari Balqa, negeri Syam, seruannya itu dengan mudah diikuti oleh penduduk Makkah, kemudian Hijaz dan menyebar ke seluruh bangsa Arab. Jadilah kesyirikan di sini menemui bentuknya yang utuh. Bangsa Arab pun terbenam dalam kesyirikan.
Menarik membicarakan pemberhalaan bangsa Arab ini ketika mereka menilai sebuah batu. Dari kacamata teori semiotika, batu dalam pandangan orang-orang Arab itu kita anggap saja sebagai penanda ( signifier ), yaitu citraan sebagai sesuatu yang bersifat verbal atau visual (Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika). Petanda ( signified ) atau konsep makna dari batu tersebut adalah manifestasi penghormatan terhadap tanah suci Makkah dan Ka’bah. Pemaknaan denotasi (pemaknaan yang bisa dikesankan secara langsung dengan sederhana) menjadi: batu itu dihormati karena berasal dari Makkah.
Ada pun pemaknaan konotasinya, dalam benak mereka, batu dari tanah Haram itu seolah turut dimuliakan pula oleh Rabbul Ka’bah: Allah ‘azza wa jalla, Rabb dan Ilah satu-satunya yang pantas diibadahi. Dia juga adalah Tuhan Ibrahim dan Ismail, nenek moyang bangsa Arab. Bangsa Arab pada saat itu menganggap batu-batu Makkah sebagai benda yang harus dihormati dengan alasan berasal dari tanah suci Makkah. Ke mana-mana saat menempati suatu tempat, mereka membawanya. Menganggap batu tersebut sebagai simbol Ka’bah. Buktinya terjadi gejala sosial di masa itu, yakni mereka mengitari batu-batu itu seperti berthawaf di Ka’bah ( Tarikh Al-Ya’qubi, Sirah Ibnu Hisyam). Dalam kaitan antara penanda ( signifier) dan petanda ( signified), anggapan-anggapan terhadap batu tersebut telah menjadi sebuah mitos ( mythology ) dalam pengandaian semiotika Roland Barthes (1915-1980).
Mitos tersebut adalah: manifestasi penghormatan mereka terhadap ‘kesakralan’ Makkah, anggapannya yang menggejala saat itu sebagai penghormatan juga ke Ka’bah. Oleh karenanya, perbuatan mereka seolah direstui Rabbul Ka’bah. Sebenarnya itu saja sudah bisa mengundang kesyirikan meski masih agak samar, tetapi orang-orang generasi belakangan telah menganggap batu-batu tersebut sebagai batu-batu yang sakral. Punya pengaruh kuat terhadap keyakinan mereka. Pemaknaan terhadap batu itu sendiri sudah memasuki alam mitos ( mythology ) atau tahap konotasi. Sebuah tahap pemaknaan yang sudah berhubungan dengan mitos serta nilai-nilai kepercayaan maupun budaya masyarakat.
Pemaknaan Berubah
Maka generasi selanjutnya telah memasuki alam mitos lebih dalam lagi. Makna denotasi bagi bangsa Arab generasi selanjutnya terhadap batu menjadi semakin identik dengan kesyirikan: menganggapnya sebagai sesuatu yang memiliki khasiat dan manfaat tertentu dengan sendirinya. Telah terjadi transformasi tanda bagi bangsa Arab. Perubahan bukan hanya terjadi pada makna konotasinya melainkan pula pada makna denotasi. Batu telah dianggap memiliki kekuatan tertentu. Menjadi icon ilahiah dan simbol yang akrab dengan spiritualitas mereka. Memang, pengandaian semiotika memungkinkan makna denotasi dari sebuah tanda bisa berubah. Oleh karena itu signified itu berubah, dari tadinya hanya rasa penghomatan belaka terhadap Makkah dan Ka’bah, menjadi simbol-simbol yang terkait spiritualitas mereka. Makna konotasinya pun berubah: Menganggap batu-batu itu “keramat” serta memiliki kekuatan magis.
Suku Khuza’ah menjadi penguasa Makkah sesudah Bani Jurhum dan sebelum Quraisy. Sedangkan Amr bin Luhay merupakan tokoh Khuza’ah, kata-katanya dianggap petuah oleh masyarakat sekitarnya. Dengan gejala kultur semacam tadi, memang sudah ada benih-benih kesyirikan yang jelas sebelum Amr bin Luhay. Waktu Amr bin Luhay pergi ke Syam dan membawa berhala dari sana, ia sebenarnya memanfaatkan hal itu untuk guna ekonomi agar pengunjung Makkah semakin ramai dan bisa ‘menjual’ berhala-berhala tersebut ke kabilah-kabilah yang datang saat mengunjungi Ka’bah. Sehingga kedudukan suku Khuza’ah semakin makmur dan kuat.
Apakah di kala itu ada suara-suara penolakan terhadap berhala? Mungkin saja ada. Terutama dari sebagian masyarakat yang masih menjalankan ritual Nabi Ibrahim meskipun dalam praktik ibadahnya telah terjadi penyimpangan. Hanya saja status dan kedudukan Amr dengan pengaruh, kedudukan dan kata-katanya yang dianggap sebagai petuah oleh masyarakat, menjadikan seruan penolakan itu mungkin tidak bisa menghadang budaya pemberhalaan yang semakin masif. Lagi pula Amr semacam ‘orang shalihnya’ jahiliyah. “Ia tumbuh sebagai orang yang bijak, gemar bersedekah dan memperhatikan urusan-urusan agama, sehingga orang-orang pun mencintainya dan menganggapnya seorang wali yang disegani,” demikian tutur Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam _Rahiqul Makhtum_nya saat menarasikan seorang Amr.
Maka pemberhalaan yang diserukan Amr bin Luhay pun tak lama menjadi populer. Dengan berhala-berhala yang ia borong dari Syam, ia menyeru masyarakat Makkah dan sekitarnya agar menyembah berhala itu. Kabarnya, seruan pemberhalaannya itu semakin masif karena ia juga dibantu oleh sekutunya dari bangsa Jin yang menemukan berhala-berhala kaum Nuh yang tertimbun dalam tanah. Dapat disimpulkan jadi apa yang dilakukan Amr memang hanya sebagai ‘penyempurna’ ritual kesyirikan: pemberhalaan. Pemberhalaan adalah bentuk penyimpangan yang parah dari Tauhid.
Kesyirikan dalam konteks Arab Jahiliyah, kendati masih memiliki pandangan bahwa Allah adalah Rabb, Tuhan yang tertinggi, namun Allah dianggap memiliki sekutu. Ada ilah-ilah lain yang menjadi pembantu dan sekutuNya. Kesyirikan yang sudah ada dipoles menjadi sempurna dengan ulah Amr bin Luhay ini. Pemberhalaan, menjadi bentuk penyimpangan paling populer di masyarakat jazirah Arab sesudah itu.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam