Maka Ikutilah Aku, niscaya Allah akan mencintaimu.” (QS Ali Imran: 31)
Wartapilihan.com, Jakarta –Selain dari konsep-konsep sejarah yang ada dalam Al-Qur’an, pandangan sejarah Islam juga bisa dibangun melalui prinsip Sirah Nabawiyah. Hal ini demikian urgen diperlukan untuk mengemban rekonstruksi historiografi Islam. Pandangan sejarah Islam yang selama beberapa abad sempat dicemari oleh para orientalis yang berdampak pada deislamisasi sejarah Islam hanya bisa ‘diobati’ dengan mengembalikan konteks sejarah kepada konstruksi sejarah Islam terbaik yang pernah ada, yakni sirah Nabawiyah klasik atau Al-Maghazi. Dalam Sirah Nabawiyah klasik inilah kita menemukan bahwa pandangan sejarah yang paling Islami pernah terbentuk, menjadikan sejarah itu “hidup” dan diteladani.
Tentu saja ini bukan berarti kita harus menulis sejarah seperti layaknya tulisan Ibnu Ishaq, Al-Waqidi, Ibnu Hisyam, Ibnu Sa’ad dan Ath-Thabari, yakni dengan menyebut sanadnya serta fragmen-fragmen kabar sejarahnya. Setiap zaman telah memiliki gaya penulisannya sendiri sebagaimana setiap zaman memiliki sejarahnya sendiri, tetapi yang ditekankan adalah pandangan dan metodologinya yang meneladani Sirah Nabawiyah klasik.
Sirah Nabawiyah klasik merupakan sirah nabi yang “hidup,” sirah yang merealisasikan atau ‘memvisualisasikan’ dalam bentuk narasi ajaran Islam serta perjuangannya secara global. Sirah Nabi SAW adalah perwujudan dari ajaran-ajaran Islam sebagaimana diinginkan Allah SWT untuk diterapkan dalam kenyataan. Sirah Nabawiyah merupakan aplikasi wahyu, bahkan merupakan sunnah Rasulullah SAW secara global. Di sirah Nabawiyah klasik inilah pandangan dan pemahaman sejarah umat Islam dibentuk dalam narasi. Inilah bentuk ideal pandangan dan pemahaman umat Islam terhadap sejarahnya sendiri.
Pandangan pihak lain ( outsider worldview ) tidak bisa dijadikan dasar pemahaman sejarah umat Islam karena pandangan mereka tidak memiliki landasan Islam. Sebagaimana ditegaskan Akram Al-Umari, pandangan sejarah Islam “bersumber dari pandangan Islam terhadap alam, kehidupan dan manusia. Sejarah harus berdasarkan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, hari akhir dan taqdir baik atau buruk.”
Dengan demikian, pengembalian kepada pandangan sejarah Islam sejatinya bermakna menjadikan aqidah sebagai asas interpretasi dan konteks penulisan. Hal demikian tidak dapat dilakukan kecuali dengan bersandarkan prinsip Al-Qur’an yang telah memaparkan kisah-kisah sejarah, serta menguraikan beberapa cirinya, yang realisasinya tertuang pada sirah Nabawiyah. Konsepsi Al-Qur’an mengenai sejarah jelas berbeda dengan konsepsi sejarah lainnya, Al-Qur’an bahkan dapat menjadi konsepsi sejarah sekaligus sumber sejarah itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Hamidullah, bahwa kitab suci Al-Qur’an dan hadits-hadits sangat berharga untuk sumber sejarah dari masa penciptaan alam semesta hingga kehidupan Rasulullah SAW.
Idealnya sebuah historiografi Islam ialah, “tidak keluar dari ruang lingkup aqidah Islam.” Oleh karena itu pemaknaan dari Al-Qur’an terhadap historiografi Islam sendiri merupakan suatu wujud keimanan kepada Allah SWT. Para sejarawan Muslim sejak dahulu telah menganggap bahwa kitab suci Al-Qur’an merupakan sumber sejarah yang paling utama, di mana paradigma sejarah itu sendiri pun dibangun dengannya.
Di dalam konsep qashash sendiri, alur sejarah dengan tolak-ukur nilai tauhid dan amal shalih (moral) dalam perjalanan hidup manusia dari berbagai zaman menjadi hal yang mutlak. Maka historiografi atau penulisan sejarah idealnya memakai narasi yang berada dalam ruang lingkup seberapa jauh dan dekatnya objek sejarah yang ditulis dengan nilai-nilai tauhid serta moral yang tertera dalam wahyu Al-Qur’an. Di Sirah Nabawiyah klasik, hal ini telah lumrah serta menjadi pandangan sejarah yang umum kala itu. Pernyataan ahli sejarah Ash-Shalabi menerangkan hal ini dengan kalimat yang menarik:
“Metodologi Islam dalam penulisan sejarah diambil dari prinsip-prinsip Islam dan sumber-sumbernya. Inilah rahasia perbedaan antara metodologi Islam dengan metodologi-metodologi lainnya. Menurut metodologi Islam, interpretasi peristiwa-peristiwa sejarah bukan interpretasi yang bersifat justifikasi. Akan tetapi, interpretasi itu memperlihatkan karakteristik iman yang melebihi perkara lainnya.”
Ilham Martasyabana, Pegiat Sejarah Islam