Al-Halim, Sang Maha Penyantun

by

Kata al-Halim, sebagai sifat yang merujuk kepada Allah atau yang diberikan kepada makhluk-Nya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak lima belas kali. Secara etimologi , kata ini bermakna dasar tidak bergegas, pemaaf, dan penyabar.

Wartapilihan.com, Depok – Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia, Dr Syamsul Yakin, MA menjelaskan, al-Halim dapat dilukiskan sebagai pribadi yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, jiwanya begitu kuat rasa sabar dan sayangnya kepada sesama sehingga ia tidak terpancing amarah ketika seseorang berlaku aniaya karena kebodohannya.

Hal ini bisa dikaitkan dengan penemuan tentang Islam oleh Barat. Stigma tentang Islam dan kaum Muslim tiba-tiba mereda ketika sarjana Barat seperti John L. Esposito, Michael Fischer, Annemarie Schimmel, Murad Hofmann, Francis Robinson, Hastings, dan sederat akademisi lainnya melakukan kajian secara obyektif tentang ajaran Islam. “Seolah mereka telah menemukan Islam, dan Islam ternyata adalah agama yang mengajarkan toleransi, keterbukaan, persamaan, musyawarah, damai, dan penuh santun,” ujar Syamsul dalam pemaparan Seri Asmaul Husna, di Depok, hari ini, (4/6).

Bahkan, menurutnya, pandangan seperti ini mencapai puncaknya ketika Gus Dur terpilih secara demokratis menjadi presiden pada 1999. Media massa Barat pada waktu itu sontak sepakat, di antaranya Herald Tribune, New York Time memberitakan kesuksesan Gus Dur itu sebagai respected Muslim leader whose message is tolerance, inclusion, and self-respected.

“Masalahnya, benarkah saat ini pandangan Barat tentang Islam dan kaum Muslim benar-benar telah berubah? Negative image of Muslims in the West tidak dikenal lagi?” Ia bertanya.

“Dan mengapakah mesti sarjana Barat seperti yang disebutkan di atas yang membeberkan bahwa Islam itu inklusif, bisa bekerjasama dengan nilai-nilai Barat, dan bukan bangsa tertinggal atau barbar?” Lanjutnya.

Dalam konteks seperti inilah, Syamsul menekankan, umat Islam harus berani melakukan otokritik, merubah citra, dan kembali mempelajari Islam secara obyektif dan dengan mengambil manhaj dari sumbernya langsung, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. “Terlalu sering kehebatan Islam dibuktikan secara mapan oleh mereka yang kita katakan Barat atau non-Muslim. Sedangkan kita sendiri, vis-à-vis ajaran Islam, lebih sering memelantingkan diri ke ranah yang asing,” paparnya.

Ia pun mengutip ayat Al-Quran surat Al-Maidah dan Al-Baqarah. “Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyantun, (QS. al-Maidah/5:101). Dalam surat al-Baqarah/2 ayat 235, Juga bisa kita baca, “Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. Dalam ayat lain, “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia karena usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk yang melata pun. Akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu tertentu” (QS. Fathir/35: 45).

Termasuk, bersumber dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih sabar mendengar hinaan selain Allah. (Ketika) mereka menuduh Allah mempunyai anak, Dia tetap memaafkan dan memberi kepada mereka” (HR. Bukhari).

Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menegaskan, seseorang yang al-Halim bukan hanya yang bersabar saja, melainkan lebih jauh juga mesti bersedia menerima segala macam konsekuensinya.

Sedangkan al-Halim sebagai sifat yang melekat kepada Allah dapat dimaknai bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Penyantun. “Kesantunan Allah itu terletak pada kesabarannya ketika setiap hari makhluk-Nya berbuat ingkar, durhaka, tidak sungguh-sungguh taat, selalu berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi, memperdaya makhluk-makhluk-Nya, termasuk berbuat aniaya terdadap diri sendiri,”

“Allah tetap sayang kepada mereka. Allah sabar sehingga tidak serta-merta menimpakan azab kepada mereka. Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyadari semua perbuatan itu,” ungkapnya.

Di dalam al-Qur’an, ia mengatakan, Allah menggelari Nabi Ibrahim sebagai pribadi yang al-Halim, yakni Allah katakan, “Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS. al-Taubah/9: 114).

Dalam ayat lain, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah” (QS. Hud/11: 75). Selain itu, Allah juga menggelari sifat al-Halim kepada Nabi Ismail. Allah berfirman, “Dan Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat halim” (QS. al-Shafaat/37: 101)

“Secara historis-normatif, nash di atas jelas memperagakan bahwa sejak masa yang begitu lama, Islam itu adalah penyelamat, sabar, suka berdamai, memberi maaf dan ampun, termasuk tolerance, inclusion, and self-respected,”

Ia menekankan, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Islam ajarkan umatnya agar menjadi pribadi yang penyantun-pemaaf, penyantun-berbasis pengetahuan, penyantun-tak butuh pengakuan, dan penyantun-penuh syukur. “Empat tipologi Muslim seperti inilah yang diharapkan mampu membangun citra bahwa Islam yang peacefull, otentik, dan genuine,” tandasnya.

Ia berharap agar umat Islam dapat belajar langsung dari sumbernya agar sifat al-Halim dapat direpresentasikan dalam diri. “Semoga kita bisa belajar secara go to source sehingga lautan ilmu dan hikmah yang terhampar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bisa kita gali dan teladani. Sifat al-Halim sejatinya terpatri di dalam diri, sehingga tolerance, inclusion, and self-respected kita ketahui bukan dari atau kata mereka,” pungkasnya. ||
Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *