Tangkaplah dan kepunglah mereka(orang-orang kafir itu), dan awasilah mereka di tempat pengintaian …”(QS. At-Taubah: 5)
Wartapilihan.com, Jakarta –Ketika para panglima di masa Khalifah Umar bin Khaththab seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Muawiyah dan Yazid bin Abu Sufyan berhasil gemilang merebut negeri para Nabi dan Rasul (Syam) dari Romawi, bukan berarti Romawi Byzantium menyerah begitu saja. Romawi tetap melakukan perlawanan, bahkan ketika Kaisar Heraclius sendiri telah kabur ke Konstantinopel menjelang kota Homs jatuh ke tangan kaum Muslimin. Kalau kita ingat, sangat mengherankan ketika paruh kedua pemerintahan Khalifah Utsman terjadi pergolakan internal kaum Muslimin lalu berlanjut di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Romawi tetap tidak bisa mengganggu internal kaum Muslimin di Syam. Padahal kekaisaran semacam Romawi Byzantium bisa saja sewaktu-waktu merebut perbatasan Syam, namun kenyataannya mereka tidak mampu, bahkan ketika banyak pergolakan internal di masa Utsman hingga awal masa kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Lalu apa gerangan yang melumpuhkan kekuatan Romawi di Syam hingga tidak bisa bangun lagi?
Tokoh kunci yang akan kita bicarakan di sini adalah sahabat Rasulullah SAW yang sangat terpercaya, as-sabiqun al-awwalun yang disegani seluruh sahabat, yakni panglima Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kendati panglima Khalid bin Walid adalah tokoh kunci paling populer saat proses futuhat Syam di dekade kedua hijriyah, tetapi jika bicara tokoh yang memperlemah militer Romawi dan spionasenya dengan cerdik, Abu Ubaidah-lah orangnya.
Dikisahkan, setelah pasukan Islam berhasil menjadikan Baitul Maqdis, Damaskus, dan kota-kota penting Byzantium di Syam menjadi wilayah Kekhalifahan, tentara dan masyarakat loyalis Romawi sempat hendak melakukan pemberontakan. Itu terjadi dalam rentang masa futuhat Syam hingga sekitar tahun 17 H, kendati ada juga perbedaan pendapat. Waktu sekitar Homs dan wilayah Antioch bergolak (wilayah-wilayah Syam yang berbatasan dengan Anatolia atau Turki), Abu Ubaidah sempat terkepung di dalam kota Homs, ia sempat bermusyawarah dengan pasukannya, apakah akan menghadang di luar benteng kota ataukah bertahan di dalam benteng saja. Awalnya Abu Ubaidah bertahan saja di dalam benteng, menunggu pasukan Khalid bin Walid dan pasukan bantuan lainnya datang. Hal itu mengingat pasukan kaum Muslimin di Homs lebih sedikit. Sebabnya, mujahidin Islam tersebar di banyak kota-kota besar negeri Syam. Khalid bin Walid yang mendapat surat dari Abu Ubaidah lewat utusan sempat menyarankan kalau Abu Ubaidah baiknya keluar benteng dan menghadapi mereka. Romawi sendiri memberontak dengan jumlah pasukan yang sangat besar, karena sisa tentara Romawi tersebut bekerja sama dengan penduduk loyalis Romawi dari Al-Jazirah ( Tarikh Ath-Thabari, 4: no. 50-52; Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibnu Katsir, Bab Penaklukan Syam masa Umar bin Khaththab, h. h. 230-231). Al-Jazirah merupakan wilayah Syam yang dekat dengan sungai Eufrat. Di sana banyak masyarakat yang masih loyal dengan Romawi.
Bukan hanya di Homs yang tadinya merupakan kota singgasana Heraclius, kota-kota seperti Halb (Aleppo) dan Mishrain juga sempat melakukan pemberontakan. Bahkan disebutkan oleh Imam Al-Baladzuri bahwa sejumlah petrick, atau kaum agamawan yang merangkap komandan militer Romawi sengaja mengobarkan pertempuran. Mereka memutuskan untuk memberontak. Melakukan perlawanan dengan kekuatan yang tersisa, kendati akhirnya sia-sia. Abu Ubaidah berhasil memadamkan pemberontakan. Abu Ubaidah kembali melakukan futuhat di distrik-distrik wilayah Antioch, lalu salah satu distrik tersebut ada yang bernama distrik Qaurus (Imam Al-Baladzuri, Futuh Al-Buldan, bab Perang Yarmuk). Sebelumnya jenderal Iyyadh bin Ghanam telah lebih dahulu sampai ke Qaurus. Para pemuka agama di sana ingin melakukan perdamaian dengan membayar jizyah. Saat tiba, Abu Ubaidah sebagai atasan jenderal Iyyadh pun menyetujui perjanjian damai tersebut. Abu Ubaidah akhirnya mengetahui kalau distrik Qaurus merupakan ‘markas’ sekaligus tempat jaringan mata-mata Romawi serta para loyalis Byzantium, mereka rutin mengadakan pertemuan di distrik ini. Tentu, dengan menguasai Qaurus dan mengetahui bahwa mata-mata Romawi ‘bermarkas’ di sana, maka Abu Ubaidah telah memutus jaringan mata-mata Romawi. Otomatis kekuatan Romawi benar-benar lumpuh setelah tempat pertemuan mata-mata ini jatuh, kendati bukan berarti pemberontakan sama sekali hilang.
Tidak cukup dengan itu, sahabat Rasulullah yang dijamin masuk Surga ini pun memberikan perintah kepada Iyyadh bin Ghanam agar mengamankan kota-kota kecil seperti Daluk dan Ra’ban. Benar saja, penduduk kota-kota kecil ini langsung memenuhi perjanjian damai dengan membayar Jizyah. Untuk benar-benar mematikan spionase Romawi, maka Abu Ubaidah memerintahkan agar penduduk yang telah melakukan perjanjian damai agar mencari informasi mengenai pergerakan sisa-sisa pasukan Romawi, lalu mengabarkan hal itu secepatnya kepada pasukan kaum Muslimin. Perwakilan-perwakilan kaum Muslimin yang ditempatkan di kota-kota kecil di sekitar Antioch dan Halb juga diperintahkan agar mengawasi kebijakan tersebut. Praktis setelah tahun 17 H, tidak ada lagi perlawanan berarti dari Romawi Byzantium terhadap Islam di negeri Syam yang diberkahi. Tempat jaringan mata-matanya telah dikuasai panglima Abu Ubaidah dan informasinya telah diketahui. Di samping itu, penduduk yang merasakan keadilan di bawah naungan pemerintahan Islam memberikan informasi apa pun terkait tindak-tanduk Romawi yang tersebar di berbagai kota.
Selain itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan tokoh kunci saat pasukan Islam mengkondusifkan wilayah Awashim. Sebutan untuk daerah yang berbatasan dengan Romawi di Syam, semisal Antioch dan sekitarnya. Saat itu Abu Ubaidah telah mencapai Tharsus, kota kuno yang telah berusia ribuan tahun di Asia Kecil.
Tatkala telah mencari informasi, Abu Ubaidah akhirnya mengetahui Tharsus merupakan tempat tersebarnya benteng dan gudang-gudang senjata Romawi Byzantium. Saat wilayah ini telah menjadi bagian dari peradaban Islam, hingga di masa Kekhalifahan Abbasiyah, benteng-benteng dan gudang tersebut menjadi gudang senjata milik kaum Muslimin. Letaknya yang strategis membuat Tharsus menjadi tempat menyuplai senjata jika kaum Muslimin berjihad melawan Romawi, Cyprus, ke negeri Syam pun letaknya relatif dekat. Apalagi Tharsus dekat dengan laut teluk Anatolia dan Mediterania.
Ketika pasukan Islam tiba, maka Tharsus dan sekitarnya sengaja dikosongkan oleh Romawi, mereka melarikan diri karena ketakutan. Tetapi seorang Imam Al-Baladzuri pun mengatakan dalam Futuh Al-Buldan, ada kemungkinan juga prajurit Romawi memindahkan perbekalan dan persenjataan mereka dari sana. Heraclius telah mengajak penduduknya untuk pindah dari Antioch supaya kaum Muslimin tidak membangun pemukiman di daerah Antokia dan wilayah Romawi, di Tharsus.
“Heraclius telah merelokasi penduduk yang tinggal di benteng ini agar pergi bersamanya dan Heraclius menyatukan mereka setelah bercerai-berai. Saat pasukan Islam menyerang, maka tidak ditemukan seorang pun di benteng-benteng tersebut, mungkin mereka adalah orang yang loyal dengan Romawi,” tutur Imam Al-Baladzuri dalam Futuh Al-Buldan (bab Perang Yarmuk).
Masih menurut keterangan Al-Baladzuri, penduduk di sana termasuk orang-orang yang melarikan diri di masa puncak futuhat Syam. Mereka adalah pasukan dan orang-orang yang lari dari kejaran kaum Muslimin namun terpisah dengan rombongannya. Mereka pun tertinggal oleh serdadu Romawi yang kabur duluan. Sehingga dikatakan orang-orang tersebut bersembunyi dalam benteng. Setiap pasukan Islam berhasil masuk ke daerah Romawi, sengaja ditinggal sejumlah pasukan untuk mengamankan daerah tersebut sampai mereka, para loyalis Romawi itu, keluar dari persembunyiannya.
Abu Ubaidah merencanakan untuk mengambil alih Gharas atau Kars, di timur Anatolia, Turki modern. Lantaran Gharas adalah tempat latihan militer Romawi. Abu Ubaidah memerintahkan Maisarah bin Masruq Al-Abasi membawa pasukan ke Gharas, “saat menuju ke sana, Maisarah bertemu dengan sekelompok prajurit Romawi dari kaum Kristen Arab seperti Ghassan, Tanukh, dan Iyad yang hendak menyusul Heraclius pindah ke Romawi. Maisarah melancarkan serangan kepada mereka dan terjadi pertempuran dahsyat,” terang Imam Al-Baladzuri. Malik bin Al-Asytar bersama pasukannya segera bergabung dengan pasukan Maisarah, Abu Ubaidah memerintahkan Malik agar mendukung misi Maisarah di sana. Kaum Muslimin menang dengan gemilang, setelah jatuhnya Tharsus dan Gharas (Kars) ini, kita dapat memahami mengapa di zaman Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam dengan cepat bisa menaklukan negeri Armenia, Cyprus, Azerbaijan, dan lainnya. Gudang senjata dan pangkalan militer Romawi telah lumpuh, tempat-tempat yang dikuasai kaum Muslimin di masa Khalifah Umar pun sangat strategis, sehingga memudahkan para Mujahidin untuk semakin memperluas futuhatnya. Terbukti di masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin hampir tidak menemui halangan berarti dalam menyebarkan cahaya Islam ke negeri-negeri di sebelah Utara dan Barat Laut Syam.
Abu Ubaidah, menurut riwayat Abu Al-Khaththab Al-Azdi, sengaja melakukan peperangan di musim panas. Daerah-daerah tersebut jika sudah memasuki musim dingin akan sangat merepotkan pasukan Muslim. Waktu difutuhat kaum Muslimin, penduduknya telah meninggalkan tempat dan benteng-benteng di dekatnya. Abu Ubaidah sengaja menguasai benteng-benteng itu, karena bentengnya menjadi tempat jaringan militer Romawi, selain pusat penyimpanan senjata mereka. Paham dengan hal itu, maka Abu Ubaidah terus memutus tempat-tempat jaringan militer Romawi di Anatolia Timur dan Utara Syam hingga perjalanan Abu Ubaidah berakhir di Zandah.
Melumpuhkan kekuatan spionase Romawi di sekitar Antioch dan Halb, sama artinya dengan melumpuhkan kekuatan pemberontak Romawi yang sempat terjadi di masa-masa Futuhat Syam. Sejarah tidak akan melupakan, kecerdikan panglima Abu Ubaidah mengamankan negeri para Nabi dan Rasul dari makar pemberontakan Romawi. Sejak itu, kendati di masa Khalifah Utsman dan Ali ada pergolakan internal kaum Muslimin, Romawi sama sekali tidak berdaya membuat makar di Syam. Para panglima di masa Khalifah Utsman boleh jadi dikenal sebagai pembebas Azerbaijan, Cyprus dan Armenia, tetapi langkah-langkah mereka tak akan semulus itu tanpa keahlian seorang panglima Abu Ubaidah.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam