Tidak bermaksud mengajarkan ilmu absurditas, mempercayai hal-hal gaib. Bagaimana mungkin tiang listrik kok berbicara.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal-hal absurditas dalam kasus-kasus tertentu terkadang menjadi berita yang dibicarakan, satu contohnya adalah tiang listrik yang menabrak Setnov… Ya menabrak Setnov, bukan ditabrak mobil Setnov.
Itulah absurditas yang dicipta, untuk sebuah opini mengelak dari tuntutan hukum yang coba ditegakkan, setegak tiang listrik yang tetap berdiri tegak meski dihajar oleh nalar sehat yang coba dikebiri.
Absurditas yang dipaksakan terkadang akan menimbulkan rasa marah dan kelucuan berkumpul menjadi satu. Maka kreativitas mengolok-olok absurditas yang dipaksakan menjadi keniscayaan.
Agama apa pun tidak membenarkan bahwa olok-olok itu lalu menjadi halal. Tidak demikian. Olok-olok tetaplah olok-olok yang masuk dalam ranah tidak seharusnya di-ghibah-kan.
Tapi kasus Setnov yang ditabrak tiang listrik, itu di samping berita aktual juga bukan sembarang berita, itu berita yang memenuhi jagad pemberitaan yang menyesakkan dada dan menyumbat nalar pikir orang sederhana sekalipun.
Absurditas, sekali lagi, dihadirkan dengan tidak perlu ada rasa keberatan apa pun dari pihak mana pun. Tidak perlu dianalisa dengan berbagai disiplin ilmu apa pun. Absurditas ya absurditas, ia dihadirkan tidak untuk dicerna dengan nalar pikir sehat. Biarlah ia berjalan dengan nalarnya sendiri.
Dalam kasus ini, setiap orang pasti mencermati, dan bisa dianalisa dan bahkan ditulis dalam berbagai angle. Tidak mustahil kisah Setnov ini sama sekali bukanlah tragedi dadakan. Ada kisah awal yang menyertainya…
Semua pasti tahu, bahwa E-KTP adalah awal dari kejadian tiang listrik menabrak Setnov. Itu baru satu kejadian yang menyeret namanya. Manusia Setnov ini punya banyak kisah yang dicipta sebelumnya…
Kisah Papa Minta Saham yang membahana itu, yang mengaduk-aduk jagad pemberitaan dan rasa keadilan publik tetap dimenangkannya. Hukum dan opini publik seperti tidak berdaya dihadapan Setnov.
Maka nalar publik menyebut Setnov itu manusia sakti yang kebal dari hukum, dan mampu menundukkan opini yang berkembang di masyarakat agar mengikuti pikiran absurditasnya.
Dalam beberapa hari ini jagad pemberitaan lagi-lagi diramaikan oleh Setnov yang menebar absurditas, bahwa tiang listrik yang menabraknya itu haruslah pihak yang mesti disalahkan. Karena peristiwa itu yang menyebabkan dia terkena penyakit malingering (“sakitnya para maling”), sebuah penyakit seperti gangguan jiwa yang sebenarnya bukan merupakan gangguan jiwa. Karena peristiwa itu yang menyebabkan dia harus disuplai dengan infus untuk anak-anak, bukan infus orang dewasa.
Lagi-lagi absurditas yang ditebarkannya “menjadi anak-anak” itu, bukanlah puncak dari skenario yang dimainkannya. Bisa jadi kita akan dusuguhi skenario susulan, seperti yang dimainkan aktor amatiran Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang saat berhadapan dengan KPK dalam kasus hukumnya, tiba-tiba memerankan peran hilang ingatan.
Kita tidak ingin Papa Setnov memakai skenario “hilang ingatan”. Karena kita tidak setuju jika “hilang ingatannya itu” malah akan dijadikan pihak yang bersalah, yang akan menjadikannya lupa bahwa dirinya bernama Setya Novanto, Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR-RI.
Jika nantinya skenario ini yang dimainkannya, maka sekali lagi kita harus memahami bahwa kita harus berakrab-akrab dengan absurditas. Jika tidak, maka kita akan gagal melihat skenario yang lebih besar lagi.
*
Kemarin malam, pukul 23.15 WIB (19 November 2017), setelah mendapat masukan dari pihak RSCM dan IDI yang telah memeriksa kesehatannya selama tiga hari menyimpulkan bahwa Setnov tidak perlu menjalani rawat inap lagi, dan KPK membawanya untuk “istirahat” di rumah tahanan.
Absurditas yang selama ini mampu diperankannya, itu harus berakhir dengan kegagalan, meski skenario ditabrak tiang listrik itu sudah diperankannya sebaik mungkin.
Di sebuah stasiun televisi swasta yang menyiarkan breaking news, publik melihat tokoh absurditas ini mempertahankan kekonyolan saat beradegan seolah-olah sakit beneran, badan lemas dengan tatapan kosong, seolah ingin, sekali lagi, diakui bahwa dia memang benar-benar sakit.
Namun KPK dan juga para dokter yang memegang sumpah atas profesionalitasnya mematahkan adegan yang coba dengan segenap tenaga yang dimainkannya itu. Adegan yang tidak membuat pubkik iba, tapi justru terpingkal dibuatnya.
Kita akan melihat adegan apa lagi yang akan dibuatnya di masa-masa akan datang. Semua hal, apa pun itu, bisa saja terjadi. Publik pun tentu tidak ingin nalarnya terus menerus terhina oleh absurditas yang dibangun oleh kesewenang-wenangan.
Publik menunggu dan akan melihat sejauh mana hukum mengalahkan atau dikalahkan oleh absurditas. Publik sabar menanti itu semua…**
Ady Amar
Pemerhati Sosial-Keagamaan