Cobaan Imam Bukhari

by
foto:istimewa

Imam Bukhari (810 – 870 M), imam hadits terkemuka, suatu saat pernah difitnah oleh salah seorang ulama terkenal di Naisabur. Hingga akhirnya ia meninggalkan negeri itu.

Wartapilihan.com, Jakarta — Imam Bukhari memiliki kedudukan masyhur di mata para ulama. Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya aku bisa menambah usia Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) dari usiaku, niscaya aku akan melakukannya. Karena kematianku adalah kematian satu orang, sedangkan kematiannya adalah lenyapnya ilmu.”

Suatu kali, Imam Qutaibah ditanya tentang perceraian orang yang sedang mabuk. Kemudian Imam Bukhari masuk menemuinya. Maka Imam Qutaibah berkata kepada penanya,”Inilah (sambal menunjuk Imam Bukhari) Ahmad bin Hambal, Ibnul Madini dan Ibnu Ruwaihah. Allah telah menggiring mereka kepadamu.”

Nuaim bin Hamad menyatakan,”Muhammad bin Ismail adalah faqih umat ini.”

Abu Sahl bin as Syafii mengatakan,”Aku telah mengunjungi Bashrah, Syam, Hijaz dan Kufah, lalu aku menemui para ulamanya. Setiap kali disebutkan nama Muhammad bin Ismail, pastilah mereka mengutamakannya atas diri mereka.” Ia juga pernah berkata,”Aku telah mendengar lebih dari 30 ulama Mesir. Mereka mengatakan,”Kebutuhan duniawi kita adalah menelaah sejarah Muhammad bin Ismail.”

Imamnya para imam, Ibnul Khuzaimah mengatakan,”Aku tidak menemukan di kolong jagad orang yang lebih tahu dan lebih hafal hadits Rasulullah saw daripada Muhammad bin Ismail.”

Suatu ketika, Imam Muslim berkata kepada Imam Bukhari,”Izinkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, tuan para ulama hadits dan tabib pengobat hadits yang sakit.”

Abu Isa at Tirmidzi berkata,”Aku belum pernah melihat orang, baik di Irak maupun di Kurasan, yang lebih mengetahui illat, sejarah, dan sanad-sanad Hadits daripada Muhammad bin Ismail.”

Cobaan Menimpa di Naisabur

Imam Bukhari menuntut ilmu sejak usia kurang dari 10 tahun. Ia menyimak pengajian dari para syaikh di kampungnya, kemudian melakukan perjalanan ilmiah yang sangat panjang untuk mendengarkan hadits, mencari ilmu, menjelajah sejumlah negeri, mengunjungi banyak kota dan bertemu dengan ribuan syaikh.

Setiap kali Imam Bukhari mengetahui ada wilayah di negeri-negeri Islam yang dikenal memiliki tradisi keilmuan dan hadits, pastilah ia kunjungi. Ia menjelajah seluruh wilayah Khurasan, mengunjungi Irak, beberapa kali menyambangi Baghdad, Bashrah dan Kufah. Selain itu ia juga mengunjungi Syam, Hijaz, Yaman dan Mesir.

Setiap kali Imam Bukhari mengunjungi suatu negeri, pastilah ribuan pencari ilmu setempat serta yang lainnya mendatanginya untuk mengambil manfaat dari kedalaman ilmunya, keluasan adabnya, kepribadian dan petunjuknya. Masyarakat memberikan sambutan kepadanya layaknya menyambut raja, khalifah atau pejabat negara. Mereka benar-benar mengagungkan, memuliakan dan menghormatinya.

Sederet epiode tentang cobaan yang menimpa Imam Bukhari dimulai ketika dirinya bertolak menuju kota Naisabur, salah satu kota besar di Khurasan. Tatkala ia singgah di kota tersebut, seluruh penduduk mendatanginya, tak seorang pun ketinggalan. Sekitar empat ribu orang laki-laki menemuinya dengan berkendara kuda, belum lagi yang menunggangi bighal, keledai maupun para pejalan kaki.

Para penguasa dan ulama seluruhnya menyambut Imam Bukhari, pada jarak dua atau tiga marhalah sebelum ia menginjakkan kaki di kota itu. Mereka memuliakannya secara luar biasa, dengan bentuk yang belum pernah diberikan kepada seseorang sebelumnya dan bahkan setelahnya.

Dari sambutan yang semarak, serta penghormatan dan apresiasi luhur yang didapatkan Imam Bukhari di Naisabur itu, ia memutuskan untuk tinggal di sana dalam waktu yang lama dan akhirnya mendirikan sebuah tempat tinggal di sana. Segenap ulama Naisabur mendorong para pencari ilmu untuk menyimak kajian yang disampaikan Imam Bukhari.

Sesepuh para ulama Naisabur pada waktu itu adalah Imam Muhammad bin Yahya adz Dzahali yang menjadi tetua di sana dan memiliki banyak pengikut serta disegani. Bukan hanya di tingkat Naisabur saja, bahkan di seluruh Khurasan. Ketaatan orang-orang kepadanya lebih besar disbanding ketaatan mereka kepada khalifah atau gubernur.

Imam adz Dzahali termasuk salah seorang yang menganjurkan orng-orang agar mengikuti pengajian Imam Bukhari, menghadiri majelisnya dan mendengarkan pengajaran-pengajarannya. Bahkan ia sendiri termasuk orang yang banyak mengambil manfaat dari Imam Bukhari. Sampai-sampai ia senantiasa berjalan di belakang Imam Bukhari ketika mengantarkan jenazah. Ia bertanya kepada Imam Bukhari mengenai nama-nama, kuniyah (julukan), dan illat (cacat/cela) perawi hadits. Di kota itu popularitas Imam Bukhari melesat cepat bak anak panah.

Dengan menetapnya Imam Bukhari di Naisabur, sedikit demi sedikit majelis hadits di kota itu kehilangan murid-murid. Mereka ramai-ramai pindah ke Majelis Imam Bukhari. Sampai kemudian muncullah kekisruhan di majelis besar milik ulama Naisabur, yaitu Muhammad bin Yahya adz Dzahali, karena sepi pencari ilmu. Saat itulah sifat dengki mulai menjalari hati adz Dzahali. Kecemburuan yang tercela lambat laun merasuk ke dalam jiwanya, hingga akhirnya ia sampai hati melayangkan fitnah terhadap Imam Bukhari. Ia berbicara panjang lebar untuk menjelek-jelekkan Imam Bukhari dan melemparkan kepadanya aneka tuduhan yang tidak berdasar.

Apakah kiranya tuduhan yang menjadi pangkal muncunya cobaan dan malapetaka bagi Imam Bukhari?

Tuduhan itu adalah tentang pelafalan (pembacaan) al Quran, yaitu ucapan orang : “Pelafalanku terhadap al Quran adalah makhluk.”

Adz Dzahali mengatakan kepada para pecinta hadits bahwa Imam Bukhari berkata,”Pelafalan al Quran adalah makhluk.”

Maka kemudian para ulama menguji Imam Bukahri di majelisnya. Tatkala mereka hadir di majelis Imam Bukhari, seseorang menghampirinya, serata bertanya,”Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang pelafalan Al Quran, apakah itu makhluk atau bukan?”

Mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari berpaling darinya tanpa menjawabnya. Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akhirnya Imam Bukhari menoleh padanya dan berkata,”Al Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Seluruh perbuatan hamba adalah makhluk. Pengujian (terhadap ulama) adalah bid’ah.”

Imam Bukhari menyadari betul substansi pertanyaan itu. Ia mengetahui bahwa pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, melainkan bertujuan untuk menguji seorang ulama, serta memantik kekacauan dan perpecahan di masyarakat.

Kemudian si penanya membuat keributan di dalam majelis Imam Bukhari. Sang Imam bergegas keluar dari majelisnya dan berdiam di rumahnya.

Setelah peristiwa itu, adz Dzahali melancarkan fitnah kepada Imam Bukhari dan menuduhnya sebagai penganut Jahmiyah. Ia berkata,”Al Bukhari telah jelas-jelas berpendapat bahwa pelafalan Al Quran adalah makhluk. Bagiku, persoalan pelafalan ini merupakan bentuk keburukan kelompok Jahmiyah. Maka barangsiapa menemui Muhammad bin Ismail al Bukhari, tuduhlah ia, karena orang yang menghadiri majelisnya pastilah orang yang sependapat dengan madzhabnya.”

Adz Dzahali tiada henti-hentinya mencemarkan nama baik dan menyerang Imam Bukhari. Ia menyebarluaskan fitnah itu kepada masyarakat serta melarang mereka mencari hadits darinya dan menghadiri majelis ilmunya. Maka orang-orang kemudian terpangaruh olehnya.

Adz Dzahali juga melarang orang yang sependapat dengan Imam Bukhari menghadiri majelis ilmunya. Saat itu, di majelis adz Dzahali terdapat dua imam besar, yaitu Muslim bin al Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Keduanya tidak sepakat dengan adz Dzahali dan mereka meninggalkan majelis ilmunya .

Adz Dzahali makin marah dan akhirnya ia berkata,”Jangan sampai orang itu (Imam Bukhari) tinggal di negeri ini.” Akhirnya Imam Bukhari meninggalkan negeri itu (Naisabur).

Salah seorang murid Imam Bukhari, Muhammad bin Syadzil menceritakan,”Aku menemui Imam Bukhari tatkala ia diterpa fitnah yang disebarkan Muhammad bin Yahya adz Dzahali. Maka aku berkata,”Wahai Abu Abdillah siasat apa yang harus kami lakukan terkait apa yang terjadi antara dirimu dengan Muhammad bin Yahya? Semua orang yang rutin menemuimu akan diusir.” Imam Bukhari menjawab,”Betapa keterlaluannya rasa dengki Muhammad bin Yahya dalam keilmuan, padahal ilmu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.”

Ahmad bin Salamah mengisahkan : “Aku menemui Imam Bukhari lalu aku katakana,”Wahai Abu Abdillah, orang itu (adz Dzahali) sangat diterima di Khurasan, terutama di kota ini. Sungguh ia bersikukuh dalam hal ii, sampai-sampai tak seorangpun diantara kami yang bisa menasehatinya. Bagaimana pendapatmu?”

Imam Bukhari lantas menggenggam janggutnya sambal membacakan ayat : “Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Al Ghafir 44).

Kemudian Imam Bukhari berucap,”Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkan kedudukan di Naisabur secara sombong, angkuh atau demi ambisi mencari kekuasaan. Orang itu (adz Dzahali) mendengkiku atas karunia yang Engkau limpahkan kepadaku seorang, tidak kepada yang lain.” Imam Bukhari lantas berkata kepadaku,”Wahai Ahmad, aku akan pergi besok agar kalian selamat dari fitnahnya kepadaku.” || Sumber : Cobaan Para Ulama karya Syaikh Syarif Abdul Aziz (Pustaka al Kautsar, 2012).

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *