20 tahun reformasi masih dibayangi bangkitnya trah Soeharto yang membawa watak orde baru.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan oleh Alghifari Aqsa, Direktur Eksekutif LBH Jakarta. Ia mengatakan, bahkan bukan hanya kebangkitan trah presiden kedua itu, melainkan juga watak Orde Baru atau Orba-nya yang militeristik, otoritarian, dan antidemokrasi.
“Watak ini bisa dimiliki oleh siapa pun walaupun bukan keluarga atau kroni Soeharto,” kata Alghifari, Senin, (21/5/2018).
Dalam survei yang dilakukan Indo Barometer yang melibatkan 1.200 responden di 34 Provinsi Indonesia dikatakan, Soeharto merupakan pemimpin paling berhasil (32,9%). Disusul Sukarno sebanyak (21,3%), dan Joko Widodo sebesar 17,8%, disusul SBY (11,6%) dan B.J. Habibie (3,5%), Abdurrahman Wahid (1,7%) dan Megawati (1,7%). Penelitian ini dilakukan pada 15 hingga 22 Mei 2018.
Menurut Alghifari, penyebab Soeharto dianggap paling berhasil ialah karena oligarki yang selama ini mengabdi kepada Soeharto masih menempati posisi strategis, sehingga bisa mempengaruhi masyarakat Indonesia. Hegemoni yang kuat, kata dia, membuat masyarakat lupa kejamnya Orba.
“Padahal rezim Orba dimulai dengan dibunuhnya jutaan orang. Bahkan diisi dengan banyak pembunuhan dan pelanggaran, serta diakhiri dengan pelanggaran hak asasi manusia seperti kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan paksa. Survei ini menjadi tamparan bagi elite politik masa kini,” tukasnya.
Ia menekankan,, masyarakat mesti mewaspadai kebangkitan Orba. Sebab, Alghifari melihat munculnya narasi yang menceritakan bagusnya kepemimpinan Orba. Juga karena adanya partai keluarga Soeharto.
Alghifari melihat, hingga 20 tahun reformasi ini, kroni Soeharto masih menduduki posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Ditambah munculnya kebijakan-kebijakan antidemokrasi dan hak asasi manusia.
“Militer pun mengabaikan amanat reformasi untuk menghapus dwifungsi ABRI (Angkat Bersenjata Republik Indonesia),” pungkas dia.
Sementara itu, salah satu eks Presiden RI, B.J. Habibie mengungkapkan, pelajaran dari sejarah 20 tahun lalu ialah, Presiden harus membentuk kabinet kementerian yang dari ahlinya, bukan karena bagi-bagi kursi semata.
“Presiden harus bentuk kabinet yang isinya para ahli. Kalaupun yang masuk kabinet adalah dari Partai Politik, maka harus untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” tutur Habibie.
Ia juga menyarankan agar bangsa Indonesia memiliki kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berupa haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu.
“Sekarang kita pernah punya, harus ada amandemen GBHN kelima,” katanya.
Ia turut mengingatkan, Pancasila bukan suatu teori yang dikembangkan oleh sekelompok ilmuan dalam ilmu sosiologi. Namun, Pancasila adalah rumusan yang diakui oleh generasi Bung Karno (Soekarno) dan sang proklamator sendiri.
“Pancasila digali dari tubuh bangsa Indonesia. Sudah mencerminkan nilai-nilai utama,” ujarnya.
Habibie menegaskan, yang perlu Indonesia perjuangkan adalah peradaban yang sesuai dengan Pancasila mulai dari sila pertama hingga kelima. Dalm memperjuangkan masing-masing sila, harus dalam kondisi seimbang dan komprehensif.
“Apabila ada orang yang ingin mengadu domba antargolongan di Indonesia, maka harus dilawan bersama. Adu domba tidak boleh terjadi di Indonesia. Perjuangan bangsa Indonesia masih panjang. Indonesia butuh manusia berkualitas,” tukas Habibie.
Eveline Ramadhini